1). Hukum Nikah dengan Niat
Cerai
Bila seseorang (misalnya musafir) berniat
menikahi wanita hingga waktu tertentu kemudian menceraikannya, tetapi akad
nikahnya adalah akad mutlak (tidak disebutkan dalam akad bahwa nikahnya sekian
hari/bulan/tahun), maka mengenai hal ini terdapat tiga pendapat:
Pendapat pertama: “Ini adalah nikah yang dibolehkan,
dan ini pendapat jumhur/mayoritas”.
Berkata Qodli Abu Bakar Al Baqillani:
Dan mereka bersepakat
bahwa sesungguhnya orang yang menikah dengan nikah mutlak dan dia meniatkan
tidak akan bersama wanita tersebut kecuali dalam waktu yang diniatkannya maka
nikahnya adalah nikah yang sah dan halal, dan bukan nikah mut’ah, karena nikah
mut’ah hanyalah nikah adalah nikah dengan syarat (waktu tempo) yang disebutkan
(dalam akad).
Ini juga pendapatnya Syaikh bin Bâz (dalam Fatâwâ
Islâmiyyah)& Ibnu Taymiyyah, Ibnu Taymiyyah menyatakan
:
Yang benar bahwa ini
bukan termasuk nikah mut’ah dan tidak diharamkan. Sebab, dia berniat menikah
dan menyukainya, berbeda dengan muhallil; tetapi dia tidak menghendaki wanita
tersebut terus menyertainya. Dan ini bukan syarat; sebab wanita terus
menyertainya bukanlah suatu kewajiban, bahkan dia berhak untuk menceraikannya.
Jika seseorang berniat menceraikannya setelah beberapa waktu, maka dia
meniatkan perkara yang diperbolehkan
Pendapat kedua : Haram, (ini pendapatnya Al Auza’i,
juga Al Utsaimin) disamakan dengan mut’ah atau nikah tahlil yang tidak
dibolehkan.
Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama,
karena niat tidak termasuk syarat atau rukun nikah. Al-Hasan bin ‘Ali sering
bercerai, sampai sampai Aly kw berkata kepada manusia: janganlah kalian
menikahkan anak kalian dengan Hasan karena dia akan menceraikannya. Nikah ini
berbeda dengan nikah muhallil (menikahi wanita yang ditalak 3 kemudian dicerai
agar suami pertama yang mentalaknya bisa kembali ke istrinya), perbedaannya
telah dijelaskan Ibnu Taymiyyah, dan juga bukan nikah mut’ah. Kalau nikah
mut’ah otomatis berakhir tatkala waktu nya habis, sedangkan nikah dengan niat
cerai nikahnya tetap abadi sampai suami menceraikan, dan jika tidak diceraikan
maka tetap berlangsung selamanya.
Disisi lain, niat akan menceraikan tidak otomatis
menjadikan jatuhnya cerai. Zaid (bin Haritsah) pernah berniat menceraikan
isterinya, dan dengan niat itu tidak membuat isterinya keluar dari kedudukannya
sebagai isteri. Bahkan ia tetap menjadi isterinya hingga dia benar-benar
menceraikannya.
Akan tetapi
walaupun halal, Imam Malik mengatakan:
“Ini bukan akhlaqnya
manusia.
Meskipun ini halal, namun hendaknya kita berfikir
apakah kira-kira kita ridlo jika kita punya putri atau saudara perempuan
dinikahi dg seperti ini, kalau tidak maka tidak usah berfikir untuk
melakukannya (walaupun orang sekarang mungkin banyak yang ridlo). Kalau mau
nambah lagi ya yang serius dan penuh tanggung jawab.
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ
حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak sempurna iman
salah seorang dari kalian sehingga dia mencintai (kebaikan) untuk saudaranya
sebagaimana dia mencintai (kebaikan) untuk dirinya sendiri.”(HR Bukhari (no.12))
2) Hukum Orangtua Memaksakan Anaknya
Nikah
Islam memberikan kesamaan hak terhadap laki-laki dan perempuan dalam
memilih pendamping hidup masing-masing, dan islam tidak pernah memberikan power
berupa hak maupun kewajiban kepada orang tua untuk memaksa anaknya dalam
menikah, melainkan islam memberikan suatu peran bagi orang tua dalam berlakon
sebagai penasehat, pemberi arahan dan petunjuk dalam masalah memilih
calon pasangan anaknya dan tidak berhak orang tua memaksa anaknya baik
laki-laki maupun perempuan untuk menikah dengan orang yang tidak mereka ingini
atau bukan pilihan mereka.
Nikah adalah keistimewaan dan masalah pribadi setiap orang, sehingga
pemaksaan orang tua atau salah satu orang tua terhadap anaknya untuk nikah
dengan orang yang tidak diinginkannya hukumnya adalah haram secara Syar’i,
karena itu merupakan perbuatan dzalim dan melanggar hak-hak orang lain. Wanita
dalam islam mempunyai kebebasan mutlak dalam menerima atau menolak orang yang
datang mempersuntingnya sehingga orang tua tidak mempunyai hak apalagi
kewajiban dalam memaksanya karena kehidupan berumah-tangga tidak akan berjalan
mulus bahkan akan merusak pernikahan apabila pernikahan tersebut didasari oleh
paksaan dan kepura-puraan.
Telah banyak dalil-dalil dan fakta-fakta yang menunjukkan pengharamannya
dalam islam yang mana telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW baik secara Qawli
maupun Fi’ly sebagai bantahan terhadap aturan-aturan yang ada pada zaman
jahiliah berupa diskriminasi terhadap wanita dalam masalah pernikahan, sehingga
Rasulullah menetapkan suatu ketetapan hukum tentang keberadaan hak seorang wanita
dalam menentukan pasangan hidupnya, serta membatalkan hukum suatu perkawinan
yang dilandasi oleh pemaksaan dan keterpaksaan meskipun yang memaksa dalam hal
ini adalah seorang ayah. Hal ini juga menunjukkan penyalahan terhadap adat
istiadat orang-orang arab pada saat itu, sebagai ujian bagi mereka dalam
menerima syariat islam yang sangat memuliakan wanita dan menjunjung tinggi
hak-hak wanita dalam memilih pasangannya. Sebagaimana dalam hadits-hadits di
bawah ini:
a. Dalam musnad Ahmad
jilid 2 hal:434 dan juga dalam Shahih Bukhari jilid 5 Hal:1974 dan dalam Shahih
Muslim jilid 2 Hal:1036, Rasulullah SAW bersabda:”Janganlah mengawinkan anak
wanita (perawan) sehingga kamu meminta izin dan mendapat persetujuan darinya,
sahabat bertanya : bagaimanakah tanda setujuanya, Rasul menjawab:”diamnya”
adalah setujunya.
b. Dalam musnad Ahmad,
jilid 1, Hal:117 dan Sunan Abi Daud jilid 2,Hal:232 dan Sunan Ibnu Majah jilid
1,Hal:603. Diriwayatkan bahwa seorang wanita telah datang mengadu kepada
Rasulullah SAW akan perihal ayahnya yang memaksanya kawin dengan orang yang
tidak diinginkannya. Maka Rasul menjawab La Nikaha Lahu”.
c. Dalam Al Kubra
diriwatkan oleh Nasai bahwa seorang ayah telah memaksa anaknya untuk menikah,
hal tersebut diadukan kepada Rasulullah SAW, maka Rasul menjawab La Nikaha Lahu
Inkihi Ma Syi’ta, tidak sah nikahnya, kawinilah yang kamu kehendaki.
d. Dalam I’lam Al
Muqiin oleh Ibnu Qayyim jilid 4, Hal:260-261. Seorang wanita telah mengadu
kepada Rasulullah tentang ayahnya yang memaksanya untuk menikah dengan orang
yang tidak diinginkannya. Maka Rasulullah menghampiri ayahnya dan menyuruhnya
untuk meminta izin dan persetujuan dari sang anak.
Islam sangat memperhatikan masalah memilih pasang suami dan istri yang pada
hakekatnya adalah memperhatikan dasar-dasar terbentuknya suatu keluarga yang
sakinah, dimana dumulai dengan pertemuan antara laki-laki dan perempuan yang
mempunyai keinginan dan untuk mewujudkannya haruslah dibutuhkan pengertian
antara keduanya.
3) Hukum
Melakukan Azal
Azal yaitu menumpahkan air mani di luar kemaluan,
apabila untuk mashlahah (kebaikan) hukumnya boleh. Diriwayatkan dari para sahabat -radhiyallahu 'anhum-
bahwa mereka melakukan azal dan Nabi Muhammad sallalahu’alaihi wassalam membiarkan mereka atas hal itu (tidak menegur/melarang).
Dan hal itu apabila untuk mashlahat: bisa jadi karena ia belum
menghendaki kehamilan pada saat itu, atau seperti yang disebutkan oleh penanya
karena ia diharamkan melakukan hubungan intim (jima') karena istrinya haidh
atau nifas apabila kebutuhan menuntut untuk melakukan hal itu, karena yang
diharamkan adalah jima'. Dan disebutkan dalam hadits pada wanita yang haidh:
قال
رسول الله:(اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْئٍ إِلاَّ النَكَاحَ)
Rasulullah salallahu’alaihi wassalam bersabda:
"Lakukanlah segala sesuatu kecuali nikah (jima')."[1]
Maksud nikah dalam
hadits tersebut adalah jima'. Maka ia boleh bermesraan dengannya seperti
mengecup, memeluk, dan menikmati dengan paha dan perutnya atau semisalnya. Akan tetapi yang lebih baik
hendaklah istrinya memakai sarung dan celana untuk menjauhkan diri dari bahaya.
Karena sesungguhnya bermesraan di sekitar kemaluan bisa membawa kepada jima'.
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: 'Nabi Muhammad salallahu’alaihi wassalam menyuruh salah seorang dari kami
(istri-istri beliau) –apabila beliau ingin bermesraan dengannya, saat istrinya haid- agar ia memakai sarung, lalu beliau
bermesraan dengannya dari belakangnya.'[2]
Seperti inilah diriwayatkan dalam riwayat yang shahih dari Aisyah radhiyallahu
'anha. Maksudnya sesungguhnya sunnah bagi suami, apabila perempuan
(istrinya) sedang haid atau nifas bahwa bercumbu dengannya dari belakang sarung
atau celana dalam atau semisalnya. Akan tetapi
jika bercumbu dengannya di dalam sarung atau celana dalam maka tidak mengapa
dalam hal itu, berdasarkan hadits yang disebutkan di atas:
قال رسول الله: (اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْئٍ
إِلاَّ النَكَاحَ)
Rasulullah sallahu’alaihi wassalam bersabda: "Lakukanlah
segala sesuatu kecuali nikah (jima')."
Bangsa Yahudi, apabila
istri-istri dari mereka haid, mereka tidak makan bersamanya, tidak minum
bersamanya, dan tidak tinggal bersamanya di dalam rumah."
4) Hukum
Istri Menolak Tinggal Bersama Keluarga Suaminya
Istri yang tidak mau tinggal dengan keluarga suami
dengan alasan suami belum mempunyai rumah sendiri adalah tindakan yang
melanggar hukum. Kalau suami belum bisa membelikan rumah dan masih menumpang
tinggal di rumah ibunya, maka Anda tetap harus ikut suami karena sebagai istri,
Anda wajib taat pada suami. Tentu saja, Anda boleh mendiskusikan
keberatan-keberatan jika harus tinggal dengan mertua. Namun demikian, Anda
tidak boleh ekstrem menolak tinggal dengan ibu mertua karena cara seperti itu
tidak benar secara etika maupun agama.
Seorang wanita yang siap dinikahi, berarti dia harus
siap menerima segala kekurangan yang ada pada suaminya. Sebaliknya, seorang
lelaki yang siap menikahi seorang perempuan, berarti dia harus menerima segala
kekurangan perempuan itu. Adalah suatu kekeliruan apabila kita menikah tetapi tidak
mau menerima kekurangan pasangan masing-masing. Kalau memang suami Anda belum
mampu membelikan rumah dan yang ada hanyalah rumah orangtuanya dan di rumah
tersebut hanya tinggal ibunya sendiri yang butuh ditemani, maka seorang istri
harus siap menerima kenyataan itu walaupun harus serumah dengan mertuanya.
Itulah konsekwensi sebuah pernikahan, harus ada pengorbanan.
5)
Hukum
Menunda Nikah karena masih Belajar
Hukumnya
adalah bahwa hal seperti itu bertentangan dengan perintah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebab beliau bersabda:
"Artinya
: Apabila datang (melamar) kepada kamu lelaki yang kamu ridhai akhlak dan
(komitmennya kepada) agamanya, maka kawinkanlah ia (dengan putrimu)".
"Artinya
: Wahai sekalian pemuda, barangsiapa diantara kamu yang mempunyai kemampuan,
maka menikahlah, karena menikah itu lebih dapat menahan pandangan mata dan
lebih menjaga kehormatan diri".
Tidak
mau menikah itu berarti menyia-nyiakan maslahat pernikahan. Maka nasehat saya
kepada saudara-saudaraku kaum Muslimin, terutama mereka yang menjadi wali bagi
putri-putrinya dan saudari-saudariku kaum Muslimat, hendaklah tidak menolak
nikah (perkawinan) dengan alasan ingin menyelesaikan studi atau ingin mengajar.
Perempuan
bisa saja minta syarat kepada calon suami, seperti mau dinikahi tetapi dengan
syarat tetap diperbolehkan belajar (meneruskan studi) hingga selesai, demikian
pula (kalau sebagai guru) mau dinikahi dengan syarat tetap menjadi guru sampai
satu atau dua tahun, selagi belum sibuk dengan anak-anaknya. Yang demikian itu
boleh-boleh saja, akan tetapi adanya perempuan yang mempelajari ilmu
pengetahuan di Perguruan Tinggi yang tidak kita butuhkan adalah merupakan
masalah yang masih perlu dikaji ulang.
Menurut
pendapat saya bahwa apabila perempuan telah tamat Tingkat Dasar (SD) dan mampu
membaca dan menulis dengannya ia dapat membaca Al-Qur'an dan tafsirnya, dapat
membaca hadits dan penjelasannya (syarahnya), maka hal itu sudah cukup, kecuali
kalau untuk mendalami suatu disiplin ilmu yang memang dibutuhkan oleh ummat,
seperti kedokteran (kebidanan, -pent-) dan lainnya, apabila di dalam studinya
tidak terdapat sesuatu yang terlarang, seperti ikhtilat (campur baur dengan
laki-laki) atau hal lainnya.
6) Hukum
Menyandingkan Kedua Mempelai di hadapan para tamu
Di antara
perkara munkar yang dilakukan oleh banyak orang pada zaman sekarang ini adalah
meletakkan tempat duduk bagi kedua mempelai di hadapan para tamu wanita, dimana
mempelai laki-laki duduk di situ di hadapan kaum wanita yang tidak memakai
jilbab dan bertabarruj (berdandan), bahkan boleh jadi ada di antara keluarga
mempelai laki-laki turut hadir bersamanya atau laki-laki dari kerabat dekat
mempelai perempuan.
Tidak
diragukan lagi bagi orang-orang yang masih mempunyai fitrah suci dan ghirah
(kecemburuan) agama bahwa perbuatan seperti itu banyak mengandung kerusakan
besar, laki-laki asing mempunyai peluang besar untuk melihat
perempuan-perempuan mutabarrijat (dengan dandanan dan perhiasan yang dapat
mengundang fitnah dan maksiat, pent) dan akibat buruk yang akan timbul darinya.
Maka wajib dicegah dan dihapuskan sama sekali karena pertimbangan banyak
fitnahnya dan demi memelihara komunitas masyarakat wanita dari hal-hal yang
menyalahi syari’at Islam yang suci.
Perbuatan seperti itu haram hukumnya dan tidak boleh dilakukan, karena
bersandingnya kedua mempelai di hadapan kaum wanita pada acara tersebut, tidak
diragukan lagi, dapat menimbulkan fitnah (maksiat) dan membangkitkan gairah
syahwat, bahkan bisa berbahaya terhadap istri (mempelai wanita), karena bisa saja
sang suami melihat perempuan yang ada di hadapannya yang lebih cantik daripada
istrinya dan lebih bagus posturnya, hingga ia kurang tertarik kepada istri yang
ada di hadapannya dimana ia mengira (sebelumnya) bahwa istrinya adalah wanita
yang paling cantik dan bagus.
Maka wajib
hukumnya menghindari perbuatan seperti itu, pengantin perempuan tetap berada di
tempat di mana hanya suaminya yang menjumpainya, dan tidak mengapa keluarga
suami turut menjumpainya bersamanya jika mereka hendak mengucapkan selamat dan
do’a restu untuk mereka berdua, namun suami tidak duduk berdampingan dengan
istrinya, ngobrol atau melakukan apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang
awam, seperti memberinya permen atau lainnya. Semua kebiasaan buruk seperti itu
bukanlah kebiasaan kaum muslimin, melainkan kebiasaan dan adat yang
diada-adakan yang dibawa oleh musuh-musuh Islam kepada kaum muslimin dan mereka
pun mengikuti dan menirukannya.
7) Hukum
Zhihar dan Kafaraatnya
Barangsiapa
yang mengatakan kepada isterinya ’Bagiku engkau seperti punggung ibuku”,
berarti dia menzhihar isterinya dan menjadi haram baginya isterinya, maka dia
tidak boleh mencampurinya dan tidak pula bermesraan dengannya melalui bagian
anggota tubuhnya yang mana saja sebelum dia menebusnya dengan membayar kafarah
sebagaimana yang telah ditentukan Allah dalam kitab-Nya:
”Dan
orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik
kembali apa yang mereka ucapkan maka (wajib atasnya) memerdekakan orang budak
sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada
kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa saja yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang
tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan
berturut-tutur sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah
atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah dan bagi orang kafir
ada siksaan yang pedih.” (Al-Mujadalah: 3-4).
Dari
Khuwailah binti Malik bin Tsa’labah bertutur, ”Suamiku Aus bin ash-Shamit telah
menzhiharku. Lalu aku datang, menemui Rasulullah saw. mengadukan hal tersebut
kepada beliau, namun beliau mendebat aku perihal suamiku. Beliau bersabda
(kepadaku), ’Bertakwalah kepada Allah, karena sesungguhnya dia (suamiku) itu
adalah pamanmu’, Aku tidak bisa tidur malam hingga Allah menurunkan ayat,
’Sesungguhnya Allah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada
kamu tentang suaminya.’ Kemudian beliau bersabda, ’Dia harus memerdekakan
seorang budak.’ Saya jawab, (Ya Rasulullah), ’Dia tidak mempunyai kekayaan yang
bisa dipergunakan untuk memerdekakan budak.’
Sabda beliau lagi, ’Hendaklah dia berpuasa selama dua bulan
berturut-turut.’ Saya jawab, ’Ya Rasulullah, dia adalah seorang yang sangat
tua, sehingga tidak mungkin dia sanggup berpuasa sebanyak itu.’ lanjut beliau, ’Hendaklah dia memberi makan
enam puluh orang miskin.’ saya jawab, ’Dia sama sekali tidak mempunyai sesuatu
yang cukup dishadaqahkan kepada mereka itu,’
maka pada saat itu dia dibawakan satu ’arak(sha’) kurma kering. Kemudian
saya berkata, ”Ya Rasulullah aku akan membantunya dengan satu arak (satu sha’)
yang lain.’ Sabda beliau, ”Engkau telah berbuat baik, pergi dan bershadaqahlah
untuknya dengan korma itu kepada enam puluh orang miskin. Kemudian hendaklah
engkau kembali ke pangkuan putera pamanmu.’ Sabda beliau (lagi), ’Dan satu
’arak itu adalah enam puluh sha.’” (Hasan: Shahih Abu Daud no:1934, tanpa
perkataan ”WAL ’ARAK” (Dan, satu ’arak), dan ”Aunul Ba’bud VI: 301 no:2199).
Dari
Urwah bin az-Zubair bahwa Aisyah r.a. berkata, ”Maha Suci Dia yang
pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu. Sesungguhnya aku benar-benar mendengar
perkataan Khaulah binti Tsa’labah yang sebagian perkataannya untuk tidak jelas
bagiku, yaitu dia mengadukan ikwal suaminya kepada Rasulullah saw. yakni ia
berkata, ”Ya Rasulullah, dia (suamiku) telah menikmati masa mudaku dan perutku
telah melahirkan banyak anak darinya hingga ketika usiaku tua dan sudah
menopouse, dia menzhiharku. Allahumma, ya Allah, sejatinya aku mengadukan
(ihwalnya) kepadamu. Maka hingga malaikat Jibril menurunkan beberapa ayat,
”Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan
kepadamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah.” (Shahih:
Shahih Ibnu Majah no:1678 dan Ibnu Majah I:666 no:2063).
Barangsiapa
yang menzhihar isterinya dalam jangka sehari atau sebulan, semisalnya, yaitu
dia berkata, ”Bagiku engkau seperti punggung ibuku selama sebulan”, misalnya
jika dia menepati sumpahnya, maka, dia tidak terkena denda namun manakala dia
mencampurinya sebelum berakhirnya waktu yang telah ditetapkannya, maka dia
wajib membayar kafarah zhihar.
Dari
Salamah bin Shakhr al-Bayadhl bercerita, Dahulu aku adalah laki-laki yang
mempunyai hasrat besar kepada wanita tidak seperti kebanyakan orang. Ketika
tiba bulan Ramadhan, aku pernah menzhihar isteriku hingga bulan Ramadhan
berakhir. Pada suatu malam tatkala ia berbincang-bindang denganku, tiba-tiba
tersingkaplah kepadaku kain yang menutupi sebagian dari anggota tubuhnya maka
akupun melompatinya lalu kucampuri ia. Dan pada pagi harinya aku pergi menemui
kaumku lalu aku memberitahukan mengenai diriku kepada mereka. Aku berkata
kepada mereka, ”Tanyakanlah kepada Rasulullah saw. mengenai persoalan ini. Maka
jawab mereka, ’kami tidak mau. Kami
khawatir jangan-jangan ada wahyu yang turun mengenai kita atau Rasulullah saw
bersabda tentang sesuatu mengenai diri kita sehingga tercela selamanya. Tetapi
nanti akan kamu serahkan sepenuhnya kepadamu persoalan ini. Pergilah dan
sebutkanlah urusanmu itu kepada Rasulullah saw. ”Maka akupun langsung berangkat
menghadap Nabi saw. kemudian aku utarakan hal tersebut kepada Beliau. Maka
Beliau saw bertanya ”Apakah benar kamu melakukan hal itu?” Saya jawab ”Ya, dan
inilah supaya Rasulullah aku akan sabar dan tabah menghadapi putusan Allah atas
diriku,” Sabda Beliau ”Merdekakanlah seorang budak.” Saya jawab, ”Demi Dzat
yang telah mengutusmu dengan membawa yang haq, aku tidak pernah memiliki
(seorang budak) kecuali diriku ini.” Sabda Beliau, ”Kalau begitu puasalah dua
bulan berturut-turut.” Saya jawab, ”Ya Rasulullah, bukankah cobaan yang telah
menimpaku ini terjadi ketika aku sedang berpuasa”, Sabda Beliau, ”Kalau begitu
bershadaqahlah, atau berilah makan kepada enam puluh orang miskin.” Saya jawab,
”Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa yang Haq sesungguhnya kami
telah menginap semalam (tatkala terjadi perselisihan itu sedang kami akan makan
malam. ’Maka sabda Beliau ”Pergilah kamu kepada siapa saja yang akan
bershadaqah dari Bani Zuraiq. Kemudian katakanlah kepada mereka supaya
memberikannya kepadamu. Lalu (dari shadaqah itu) berilah makan enam puluh orang
miskin, dan selebihnya gunakanlah (untuk dirimu dan keluargamu).” (Shahih:
Shahih Ibnu Majah no:1677, Ibnu Majah I : 665 no:2062 dan ’Aunul Ma’bud VI:298
no:2198, Tirmidzi II:335 no:1215 secara ringkas).
Walhasil
bahwa Nabi saw tidak menegur Salamah bin Shakhr al-Bayadhi karena Menshihar
isterinya. Beliau menegurnya, karena ia mencampuri isterinya. Beliau
menegurnya, kerena ia mencampuri isterinya sebelum berakhir rentang waktu yang
ditetapkannya.
Hukum
Zhihar
zhihar
adalah haram, karena Allah SWT mengkategorikan zhihar sebagai perkataan yang
mungkar dan dusta, dan Dia mengingkari orang yang menzhihar isterinya. Allah
SWT berfirman, ”Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu (menganggap
isterinya sebagai ibunya), padahal tiadalah isteri mereka ibu mereka. Ibu-ibu
meraka tidak lain hanyalah yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka
sungguh-sungguh mengucapka suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan
sesugguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (Al-Mujadilah:2).
8) Hukum
Menikahi Wanita Pezina
Ada sebuah
ayat yang kemudian dipahami secara berbeda oleh para ulama. Meski pun jumhur
ulama memahami bahwa ayat ini bukan pengharaman untuk menikahi wanita yang
pernah berzina.
“Laki-laki
yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan
yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan
atas oran-orang yang mu`min. (QS. An-Nur : 3)
Lebih lanjut
perbedaan pendapat itu adalah sbb :
1. Pendapat Jumhur (mayoritas) ulama
Jumhurul Fuqaha mengatakan bahwa
yang dipahami dari ayat tersebut bukanlah mengharamkan untuk menikahi wanita
yang pernah berzina.
Bahkan mereka membolehkan menikahi
wanita yang pezina sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafaz ayat yang zahirnya
mengharamkan itu ?
Para fuqaha memiliki tiga alasan
dalam hal ini. Dalam hal ini mereka mengatakan bahwa lafaz `hurrima` atau
diharamkan di dalam ayat itu bukanlah pengharaman namun tanzih (dibenci).
Selain itu mereka beralasan bahwa
kalaulah memang diharamkan, maka lebih kepada kasus yang khusus saat ayat itu
diturunkan.
Mereka mengatakan bahwa ayat itu
telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu :
Dan kawinkanlah orang-orang yang
sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah
akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha
Mengetahui. (QS. An-Nur : 32).
Pendapat ini juga merupakan pendapat
Abu Bakar As-Shiddiq ra dan Umar bin Al-Khattab ra dan fuqaha umumnya. Mereka
membolehkan seseorang untuk menikahi wanita pezina. Dan bahwa seseorang pernah
berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah secara syah.
Pendapat mereka ini dikuatkan dengan
hadits berikut :
Dari Aisyah ra berkata,`Rasulullah
SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan
berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda,`Awalnya perbuatan kotor dan
akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal`. (HR.
Tabarany dan Daruquthuny).
Juga dengan hadits berikut ini :
Seseorang bertanya kepada Rasulullah
SAW,`Istriku ini seorang yang suka berzina`. Beliau menjawab,`Ceraikan dia`.
`Tapi aku takut memberatkan diriku`. `Kalau begitu mut`ahilah dia`. (HR. Abu
Daud dan An-Nasa`i)
2. Pendapat Yang Mengharamkan
Meski demkikian, memang ada juga
pendapat yang mengharamkan total untuk menikahi wanita yang pernah berzina.
Paling tidak tercatat ada Aisyah ra, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra` dan Ibnu
Mas`ud. Mereka mengatakan bahwa seorang laki-laki yang menzinai wanita maka dia
diharamkan untuk menikahinya. Begitu juga seorang wanita yang pernah berzina
dengan laki-laki lain, maka dia diharamkan untuk dinikahi oleh laki-laki yang
baik (bukan pezina).
Bahkan Ali bin abi Thalib mengatakan
bahwa bila seorang istri berzina, maka wajiblah pasangan itu diceraikan. Begitu
juga bila yang berzina adalah pihak suami. Tentu saja dalil mereka adalah zahir
ayat yang kami sebutkan di atas (aN-Nur : 3).
Selain itu mereka juga berdalil
dengan hadits dayyuts, yaitu orang yang tidak punya rasa cemburu bila istrinya
serong dan tetap menjadikannya sebagai istri.
Dari Ammar bin Yasir bahwa Rasulullah SAW bersbda,`Tidak akan masuk
surga suami yang dayyuts`. (HR. Abu Daud)
3. Pendapat Pertengahan
Sedangkan pendapat yang pertengahan
adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau mengharamkan seseorang menikah
dengan wanita yang masih suka berzina dan belum bertaubat. Kalaupun mereka
menikah, maka nikahnya tidak syah.
Namun bila wanita itu sudah berhenti
dari dosanya dan bertaubat, maka tidak ada larangan untuk menikahinya. Dan bila
mereka menikah, maka nikahnya syah secara syar`i.
Nampaknya pendapat ini agak menengah
dan sesuai dengan asas prikemanusiaan. Karena seseroang yang sudah bertaubat
berhak untuk bisa hidup normal dan mendapatkan pasangan yang baik.
9) Hukum
Suami Tunduk pada Istri
Seorang
suami adalah pemimpin dalam rumah tangga. ALLOH SWT berfirman, "Laki-laki
adalah pemimpin kaum wanita, karena ALLOH telah melebihkan sebagian mereka atas
sebagian yang lainnya dan karena mereka telah membelanjakan sebagian harta
mereka…" (Q.S. An-Nissa [4]: 34).
Bagi suami
yang tunduk terhadap istri, maka dia telah gagal dalam kepemimpinan rumah
tangganya.
Hak
kepemimpinan diperoleh suami karena keunggulan struktur dirinya daripada
perempuan, juga karena dia memikul tanggung jawab kehidupan sehari-hari yang
berat.
مَنْ كَان له
امرأة تُؤذِيه لَم يَقْبل اللهُ صَلاتَهَا ، وَلا حَسَنَة مِن عَمَلِها ، حَتَّى تُعِينَه
وتُرضِيه وإنْ صَامَتِ الدَّهْرَ ، وعَلَى الرَّجُلِ مِثلُ ذَلكَ الوِزْر ، إذا كَانَ
لَهَا مُؤذياً ظَالِماً
“Orang yang
memiliki istri yang menyakitinya, Allah SWT tidak menerima shalat atau kebaikan
yang dilakukan istrinya itu, sampai istri itu menolong dan membuatnya ridha
meskipun si istri berpuasa dahr. Suami juga akan mendapat dosa seperti itu jika
dia menyakiti dan menzalimi istrinya.”
10) Hukum
Bagaimana Adat Nikah Menurut Islam
Islam telah
memberikan konsep yang jelas tentang tatacara pernikahan berlandaskan Al-Qur'an
dan Sunnah yang shahih (sesuai dengan pemahaman para Salafus Shalih).
Khitbah
(meminang). Seorang muslim yang akan menikahi seorang muslimah hendaknya ia
meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang
lain. Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh
orang lain (Muttafaq 'alaihi). Dalam khitbah disunnahkan melihat wajah yang
akan dipinang (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Darimi).
Aqad nikah.
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi yaitu:
Adanya suka sama suka dari kedua
calon mempelai.
Adanya Ijab Qabul.
Adanya Mahar.
Adanya Wali.
Adanya Saksi-saksi.
Dan menurut
sunnah sebelum aqad nikah diadakan 'khutbah' terlebih dahulu yang dinamakan
'Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat'. Walimah 'urusy (resepsi pernikahan).
Walimatul 'urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin. Hendaknya
diundang juga orang-orang miskin. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: "Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya
mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin
tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia
durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya". (Hadits Shahih Riwayat Muslim dan
Baihaqi dari Abu Hurairah).
Sebagai
catatan penting hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya
maupun miskin. Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: "Janganlah kamu
bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu
melainkan orang-orang yang taqwa". (Hadist Shahih Riwayat Abu Dawud,
Tirmidzi, Hakim dan Ahmad dari Abu Sa'id Al-Khudri).
Adapun
Penyelewengan dalam Pernikahan adalah, Mengikuti upacara adat.
Ajaran dan
peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara (upacara dan
adat istiadat yang bertentangan dengan Islam) maka wajib untuk dihilangkan.
Umumnya umat Islam dalam cara perkawinan selalu meninggikan dan menyanjung adat
istiadat setempat, sehingga sunnah-sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
yang benar dan shahih telah mereka matikan dan padamkan (sesuai pengamatan dan
perbincangan penulis). Sungguh sangat ironis...!. Kepada mereka yang masih
menuhankan adat istiadat jahiliyah dan melecehkan konsep Islam, berarti mereka
belum yakin kepada Islam.
Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Apakah hukum jahiliyah yang mereka
kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi
orang-orang yang yakin?". (Al-Maaidah : 50). Orang-orang yang mencari
konsep, peraturan, dan tatacara selain Islam, maka semuanya tidak akan diterima
oleh Allah dan kelak di akhirat mereka akan menjadi orang-orang yang merugi,
sebagaimana firman Allah Ta'ala: "Barangsiapa yang mencari agama selain
agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya,
dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi". (Ali-Imran : 85).
11) Hukum
Berjima’ saat Istri sedang Haid
Setidaknya
ada beberapa hukum terkait dengan wanita haid. Salah satu di antara hukum-hukum
tersebut adalah diharamkannya suami mencampuri (bersenggama) istri yang sedang
haid.
Abu Hafsh
Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq -Rahimahumullah- dalam buku beliau mengatakan
diharamkan mencampuri istri yang sedang haid, berdasarkan firman Allah
-Subhanahu wa Ta’ala-:
“Mereka
bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah suatu kotoran.’
Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah
suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintakan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang
yang meyucikan diri.” (Al-Baqarah : 222)
Maksud dari
perkataan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci adalah larangan
untuk berjima’ (bercinta) dengan Istri saat masih dalam keadaan haid.
Dalam sebuah
hadits Rasulullah -Shallallahu alaihi wa Salam- bersabda,
“Lakukanlah
segala sesuatu terhadapnya kecuali menyetubuhinya.” (Riwayat Muslim,
At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darimi)
Larangan
yang lebih tegas dikatakan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa Salam- dalam
sabdanya,
“Barangsiapa
yang menjima’i (menyetubuhi) istrinya yang sedang dalam keadaan haid atau
menjima’i duburnya (anal seks), maka sesungguhnya ia telah kufur kepada
Muhammad -Shallallahu alaihi wa Salam-.”
12) Hukum Bermimpi Wajah Calon Istri
Bermimpi
calon istri hukumnya tidak dibenarkan karna tidak mungkin, dan sesungguhnya
kepastian hanyalah milik Allah, dan hanya Rosullulloh sajalah yang Allah
izinkan untuk memimpikan calon istrinya, Aisyah dipersunting oleh Rasulullah
SAW berdasarkan perintah Allah melalui wahyu dalam mimpi beliau. Rasulullah SAW
mengisahkan tiga mimpi beliau kepada ‘Aisyah, “Aku melihatmu dalam mimpiku
selama tiga malam, ketika itu datang bersamamu malaikat yang berkata: ini
adalah istrimu. Lalu aku singkap tirai yang menyembunyikan wajahmu, lalu aku
berkata sesungguhnya hal itu telah ditetapkan di sisi Allah. ” (HR Bukhari
Muslim)
Seseorang
boleh saja untuk mencari tahu tentang tafsiran mimpinya jika dia merasa mimpi
itu mengandung makna. Telah diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw. bertanya
kepada para sahabatnya setelah sholat Subuh, “siapa diantara kalian yang
bermimpi tadi malam?” dan lalu beliau menafsirkannya untuk mereka. Kita juga
diberitahukan bagaimana semestinya menghadapi mimpi kita.
1. Jika itu mimpi buruk, maka
acuhkan saja dan jangan ceritakan kepada orang lain.
2. Jika itu mimpi yang baik maka
ceritakanlah kepada orang-orang terdekat.
3. Mimpi bukanlah sebuah sumber
'Undang-undang'; tidak ada keputusan untuk melaksanakan yang bersumber dari
mimpi.
Untuk itu
jika anda ingin mengetahui tafsiran mimpi yang anda alami maka dekatilah
seseorang yang mampu, memiliki ilmu dan alim.
13) Hukum
Istri Membocorkan Rahasia Suami
Istri adalah
tempat rahasia suami dan orang yang paling dekat dengannya serta paling tahu kekhususannya
(yang paling pribadi dari diri suami). Bila menyebarkan rahasia merupakan sifat
yang tercela untuk dilakukan oleh siapa pun maka dari sisi istri lebih besar
dan lebih jelek lagi.
Sesungguhnya
majelis sebagian wanita tidak luput dari membuka dan menyebarkan aib-aib suami
atau sebagian rahasianya. Ini merupakan bahaya besar dan dosa yang besar.
Karena itulah ketika salah seorang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
menyebarkan satu rahasia beliau, datang hukuman keras, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersumpah untuk tidak mendekati isti tersebut selama satu bulan penuh.
Allah Azza
wa Jalla menurunkan ayat-Nya berkenaan dengan peristiwa tersebut.
وَإِذْ
أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ
اللهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ
“Dan
ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari
isteri-isterinya suatu peristiwa. Maka tatkala si istri menceritakan peristiwa
itu (kepada yang lain), dan Allah memberitahukan hal itu kepada Muhammad lalu
Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepada beliau) dan
menyembunyikan sebagian yang lain.” (At Tahriim: 3)
Suatu ketika
Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam mengunjungi putranya Ismail, namun beliau tidak
mejumpainya. Maka beliau tanyakan kepada istri putranya, wanita itu menjawab:
“Dia keluar mencari nafkah untuk kami.” Kemudian Ibrahim bertanya lagi tentang
kehidupan dan keadaan mereka. Wanita itu menjawab dengan mengeluh kepada
Ibrahim: “Kami adalah manusia, kami dalam kesempitan dan kesulitan.” Ibrahim
‘Alaihis Salam berkata: “Jika datang suamimu, sampaikanlah salamku padanya dan
katakanlah kepadanya agar ia mengganti ambang pintunya.” Maka ketika Ismail
datang, istrinya menceritakan apa yang terjadi. Mendengar hal itu, Ismail
berkata: “Itu ayahku, dan ia memerintahkan aku untuk menceraikanmu. Kembalilah
kepada keluargamu.” Maka Ismail menceraikan istrinya. (Riwayat Bukhari)
Ibrahim
‘Alaihis Salam memandang bahwa wanita yang membuka rahasia suaminya dan
mengeluhkan suaminya dengan kesialan, tidak pantas untuk menjadi istri Nabi
maka beliau memerintahkan putranya untuk menceraikan istrinya.
Oleh karena
itu, wahai saudariku muslimah, simpanlah rahasia-rahasia suamimu, tutuplah
aibnya dan jangan engkau tampakkan kecuali karena maslahat yang syar’i seperti
mengadukan perbuatan dhalim kepada Hakim atau Mufti (ahli fatwa) atau orang
yang engkau harapkan nasehatnya. Sebagimana yang dilakukan Hindun radliallahu
‘anha di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hindun berkata: “Abu
Sufyan adalah pria yang kikir, ia tidak memberiku apa yang mencukupiku dan
anak-anakku. Apakah boleh aku mengambil dari hartanya tanpa izinnya?!”
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ambillah yang mencukupimu dan anakmu
dengan cara yang ma`ruf.”
Cukup bagimu
wahai saudariku muslimah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّ مِنْ
شَرِ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِي
إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ أَحَدُهُمَا سِرُّ صَاحِبَهُ
“Sesungguhnya
termasuk sejelek-jelek kedudukan manusia pada hari kiamat di sisi Allah adalah
pria yang bersetubuh dengan istrinya dan istri yang bersetubuh dengan suaminya,
kemudian salah seorang dari keduanya menyebarkan rahasia pasanannya.”18
14) Hukum
Berzina dengan Suami Tetangga
Bila
sang istri terbukti selingkuh -walaupun tidak sampai berzina- maka tindakan
yang paling tepat -menurut saya- adalah wajib menceraikannya dan tidak
sepantasnya seorang suami mempertahankan istri yang telah mencederai
kesetiaannya dengan berbuat serong (dengan maknanya yang luas). Sebab, istri
telah melakukan kesalahan yang tidak bisa dipandang remeh. Menjalin hubungan
asmara terlarang dengan lelaki lain, siapapun dia.
Syaikh
Prof. DR. Shalih Fauzan Al-Fauzan Hafizhahullah (seorang anggota majelis ulama
besar kerajaan saudi Arabia dan anggota Islamic Fiqh Academy (IFQ) Liga Muslim
Dunia (Rabithoh al-’Alam al-Islami)) memaparkan: “Apabila keadaan istri tidak
lurus agamanya, seperti meninggalkan shalat atau suka mengakhirkan
pelaksanaannya di akhir waktu, sementara suami tidak mampu memperbaikinya, atau
bila tidak memelihara kehormatannya, maka menurut pendapat yang rajih, suami
dalam kondisi ini wajib untuk menceraikan istrinya.” (Al-Mulakhas Al-Fiqhi,
2/305)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah Raahimahullahu Ta’ala berkata: “Jika istri berzina, maka
suami tidak boleh tetap mempertahankannya dalam kondisi ini. Kalau tidak, ia
menjadi dayyuuts (suami yang membiarkan maksiat terjadi di dalam rumah)”.
Adapun
bila ia tidak mau bercerai dan mengaku masih mencintai suaminya, maka ini
bohong. Bila ia cinta sama suaminya kenapa harus selingkuh. Wanita yang baik
dan normal tidak akan berselingkuh dengan lelaki lain, sebab ia memiliki rasa
malu yang jauh lebih besar dari lelaki. Bila ia telah selingkuh dengan lelaki
lain maka rasa malu tersebut tentunya hilang dan kemungkinan berselingkuh lagi
sangat besar sekali. Bagaimana tidak? Ia tidak puas dengan suaminya yang ada
dan telah merasakan keindahan semu selingkuhnya dengan PIL (pria Idaman Lain).
Wanita yang secara umum perasaannya lebih menguasai dari akal sehatnya tentu
kemungkinan mengulanginya lagi itu sangat mungkin. Apalagi PIL nya tersebut
masih membuka pintu baginya.
Karena
itu nasehat saya kepada suami, ceraikan saja wanita tersebut dan berilah ia
kemudahan untuk mendapatkan yang ia angan-angankan. Dengan bertawakkal kepada
Allah dan mengikhlaskan perceraian tersebut kepada Allah maka Allah akan
menggantikan dengan yang lebih daik darinya.
15) Hukum
Meratapi Mayit Suami
Bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat wanita yang meratapi kematian, yaitu
wanita yang menangisi mayat dengan suara yang mirip suara burung perkutut. Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknatnya karena ratapan itu mengandung
perasaan sangat terpukul karena musibah dan sangat menyesal, dan setan
meniupkan rasa marah terhadap takdir Allah ke dalam hati wanita.
Perkumpulan-perkumpulan
yang diselenggarakan setelah meninggalnya si mayat yang mengandung jeritan dan
ratapan, semuanya haram dan berdosa besar.
Seharusnya kaum muslimin rela dengan qadha' dan qadar Allah. Dan jika
seseorang tertimpa musibah, hendaklah mengucapkan. "Artinya
: Sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kepadaNya kami kembali. Ya
Allah berilah aku balasan pahala dalam musibahku ini dan berilah aku ganti yang
lebih baik daripada musibah ini". Jika
seseorang mengucapkannya dengan niat yang tulus dan membenarkan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Allah akan memberikan pengganti yang lebih
baik daripada musibah yang menimpanya itu dan memberinya balasan pahala atas
musibah tersebut. Hal
ini pernah dialami oleh Ummul Mukminin, Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha ketika
Abu Salamah (suaminya) meninggal, ia mengucapkan itu dengan penuh keimanan
terhadap ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, saat itu ia mengucapkannya
: (Ya Allah
berilah aku balasan padahal dalam musibahku ini dan berilah aku ganti yang
lebih baik daripada musibah ini [Hadits Riwayat Muslim dalam Al-Jana'iz :
918]).
Lalu, apa yang terjadi ? Allah memberinya pengganti yang lebih baik dari
musibah itu, yaitu ketika selesai masa iddahnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam menikahinya. Tentunya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih baik
daripada Abu Salamah di samping pahala di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Maka, ketika seseorang tertimpa musibah, hendaknya sabar, tabah dan
mengharapkan balasan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Adapun pertemuan-pertemuan yang mengandung jeritan dan ratapan hukumnya
haram, dan hendaknya kaum muslimin mengingkari dan menjauhinya.
[Nur'Ala Ad-Darb, hal. 64-65, Syaikh Ibnu Utsaimin]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min
Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia
Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]
16) Hukum
Berkhalwat dengan wanita lain Mahrom padahal Statusnya sudah menikah
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا يخلون
أحدكم بامرأة فإن الشيطان ثالثهما
Janganlah salah
seorang dari kalian berkhalwat dengan seorang wanita karena sesungguhnya
syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.
ومن كان يؤمن
بالله واليوم الآخر فلا يخلون بامرأة ليس معها ذو محرم منها فإن ثالثهما الشيطان
Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia berkhalwat dengan
seorang wanita tanpa ada mahrom wanita tersebut, karena syaitan menjadi orang ketiga
diantara mereka berdua.
لا يخلون رجل
بامرأة إلا مع ذي محرم فقام رجل فقال يا رسول الله امرأتي خرجت حاجة واكتتبت في
غزوة كذا وكذا قال ارجع فحج مع امرأتك
Dari Ibnu
Abbas, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah
seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kacuali jika bersama dengan
mahrom sang wanita tersebut”. Lalu berdirilah seseorang dan berkata, “Wahai
Rasulullah, istriku keluar untuk berhaji, dan aku telah mendaftarkan diriku
untuk berjihad pada perang ini dan itu”, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata, “Kembalilah!, dan berhajilah bersama istrimu”
Apa maksud
perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “syaitan menjadi orang ketiga
diantara mereka berdua”?
Berkata
Al-Munawi, :”Yaitu syaitan menjadi penengah (orang ketiga) diantara keduanya
dengan membisikan mereka (untuk melakukan kemaksiatan) dan menjadikan syahwat
mereka berdua bergejolak dan menghilangkan rasa malu dan sungkan dari keduanya
serta menghiasi kemaksiatan hingga nampak indah di hadapan mereka berdua,
sampai akhirnya syaitanpun menyatukan mereka berdua dalam kenistaan (yaitu
berzina) atau (minimal) menjatuhkan mereka pada perkara-perkara yang lebih
ringan dari zina yaitu perkara-perkara pembukaan dari zina yang hampir-hampir
menjatuhkan mereka kepada perzinaan.”
Berkata As-Syaukani, “Sebabnya adalah lelaki senang kepada wanita karena
demikanlah ia telah diciptakan memiliki kecondongan kepada wanita, demikian
juga karena sifat yang telah dimilikinya berupa syahwat untuk menikah. Demikian
juga wanita senang kepada lelaki karena sifat-sifat alami dan naluri yang telah
tertancap dalam dirinya. Oleh karena itu syaitan menemukan sarana untuk
mengobarkan syahwat yang satu kepada yang lainnya maka terjadilah kemaksiatan.”
Imam An-Nawawi berkata, “…Diharamkannya berkhalwat dengan seorang wanita
ajnabiah dan dibolehkannya berkholwatnya (seorang wanita) dengan mahramnya, dan
dua perkara ini merupakan ijma’ (para ulama)”
17) Hukum
Seorang Wanita Menolak diajak Menikah
Dalam masalah
pernikahan Wanita diberi hak untuk menentukan pendamping hidup dan
diperkenankan menolak calon suami yang diajukan orang tua atau kerabat bila tdk
menyukainya.
Beberapa
hadits di bawah ini menjadi bukti:
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga
ia diajak musyawarah dan tdk boleh seorang gadis dinikahkan hingga diminta
izinnya.” Para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah bagaimanakah izin seorang
gadis?” “Izin adl dgn ia diam” jawab Rasulullah.
Aisyah
radhiyallahu ‘anha berkata:
“Wahai
Rasulullah sesungguh seorang gadis itu malu .” Beliau menjelaskan “Tanda
ridhanya gadis itu adl diamnya.”
Khansa`
bintu Khidam Al-Anshariyyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan ayah menikahkan dgn
seorang lelaki ketika ia menjanda. Namun ia menolak pernikahan tersebut. Ia
adukan perkara kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga akhir beliau
membatalkan pernikahannya.
Hadits di
atas diberi judul oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dlm kitab Shahih-nya:
Bab Apabila seseorang menikahkan putri sementara putri tdk suka mk pernikahan
itu tertolak.
Al-Qasim bin
Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq menceritakan salah seorang putri Ja’far2
merasa khawatir wali akan menikahkan secara paksa. mk ia mengutus orang utk mengadukan
hal tersebut kepada dua syaikh dari kalangan Anshar ‘Abdurrahman dan Majma’
kedua adl putra Yazid bin Jariyah. Kedua berkata “Janganlah kalian khawatir krn
ketika Khansa` bintu Khidam dinikahkan ayah dlm keadaan ia tdk suka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak pernikahan tersebut.”
Buraidah
ibnul Hushaib radhiyallahu ‘anhu mengabarkan:
“Pernah
datang seorang wanita muda menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dlm
rangka mengadu ‘Ayahku menikahkanku dgn anak saudara utk menghilangkan kehinaan
yg ada pada dgn pernikahanku tersebut’ ujarnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyerahkan keputusan pada . Si wanita berkata ‘Aku membolehkan ayah utk
melakukannya. Ha saja aku ingin para wanita tahu bahwa ayah mereka tdk memiliki
urusan sedikitpun dlm memutuskan perkara seperti ini’.” “Hadits ini shahih
menurut syarat Al-Imam Muslim.”}
Islam
memberikan hak seperti ini kepada wanita krn Allah Subhanahu wa Ta’ala
menjadikan wanita sebagai penenang bagi suami dan Allah Subhanahu wa Ta’ala
menjadikan kehidupan suami istri ditegakkan di atas mawaddah wa rahmah. mk
bagaimana akan terwujud makna yg tinggi ini apabila seorang gadis diambil
secara paksa sebagai istri sementara ia dlm keadaan tdk suka? Lalu bila
demikian keadaan sampai kapan pernikahan itu akan bertahan dgn tenang dan
tenteram?
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menyatakan: “Tidak boleh seorang pun
menikahkan seorang wanita kecuali terlebih dahulu meminta izin sebagaimana hal
ini diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila si wanita
tdk suka maka ia tidak boleh dipaksa utk menikah. Dikecualikan dlm hal ini bila
si wanita masih kecil krn boleh bagi ayah menikahkan gadis kecil tanpa meminta
izinnya. Adapun wanita yg telah berstatus janda dan sudah baligh mk tdk boleh
menikahkan tanpa izin sama saja baik yg menikahkan itu ayah atau yg lainnya.
Demikian menurut kesepakatan kaum muslimin.”
Ibnu Taimiyyah rahimahullahu melanjutkan: “Ulama berbeda pendapat tentang
izin gadis yg akan dinikahkan apakah izin itu wajib hukum atau mustahab . Yang
benar dlm hal ini adl izin tersebut wajib. Dan wajib bagi wali si wanita utk
bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dlm memilih lelaki yg akan ia
nikahkan dgn si wanita dan hendak si wali melihat apakah calon suami si wanita
tersebut sekufu atau tidak. Karena pernikahan itu utk kemaslahatan si wanita
bukan utk kemaslahatan pribadi si wali.”
Islam menetapkan kepada seorang lelaki yg ingin menikahi seorang wanita
agar memberikan mahar pernikahan kepada si wanita. Dan mahar itu nanti adl hak
si wanita tdk boleh diambil sedikitpun kecuali dgn keridhaannya.
وَآتُوا
النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ
نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْئًا مَرِيْئًا
“Berikanlah mahar kepada para wanita sebagai pemberian dgn penuh kerelaan.
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian dgn senang hati sebagian dari
mahar tersebut mk makanlah pemberian itu yg sedap lagi baik akibatnya.”
Al-Imam Al-Qurthubi Subhanahu wa Ta’ala berkata “Ayat ini menunjukkan wajib
pemberian mahar kepada wanita yg dinikahi. Ulama menyepakati hal ini tanpa ada
perbedaan pendapat kecuali riwayat sebagian ahlul ilmi dari penduduk Irak yg
menyatakan bila seorang tuan menikahkan budak laki2 dgn budak wanita mk tdk
wajib ada mahar. Namun pendapat ini tdk dianggap.”
18) Hukum suami
Hidup dari Hasil Nafkah Istrinya
Kewajiban
memberikan nafkah ini tidaklah hilang dari diri seorang suami walaupun istrinya
seorang yang kaya raya atau memiliki penghasilan sendiri. Tidak ada salahnya
bagi seorang istri untuk mengingatkan suaminya akan kewajiban ini terlebih jika
tampak adanya pengabaian terhadap kewajiban ini didalam dirinya.
Dan jika
seorang suami tetap mengabaikan kewajibannya memberikan nafkah kepada
keluarganya sehingga si istri harus menafkahi sendiri kebutuhan diri dan
keluarganya dengan hartanya maka biaya yang dikeluarkannya selama itu menjadi
utang yang harus dibayar oleh suaminya. Suami tetap diwajibkan membayar utang
tersebut walaupun hal itu terjadi selama bertahun-tahun lamanya selama si istri
belum merelakannya.
Pengabaian
ini juga menjadikan si istri memiliki hak meminta kepada hakim agar memaksa
suaminya untuk memenuhi kebutuhannya atau agar memisahkan mereka berdua dari
tali perkawinan.
Didalam
kitab ”al Mausu’ah” disebutkan bahwa para fuqaha telah bersepakat kewajiban
memberikan nafkah istri ada pada suaminya dikarenakan akad sah
(perkawinannya)... Jika seorang suami tidak menunaikan kewajiban ini tanpa
adanya penghalang yang berasal dari istrinya maka si istri memiliki hak untuk
meminta nafkahnya tersebut melalui hakim sehingga si hakim mengambil dari
suaminya secara paksa. Akan tetapi jika si suami tidak memberikan nafkahnya
dikarenakan adanya penghalang dari istrinya, seperti : nusyuz (baca : (Baca :
Hukum Istri yang Menampar Suami, pen) maka dirinya tidak bisa dipaksa untuk
mengeluarkan nafkahnya itu.
19) Bagaimana
Hukumnya bagi Suami yang Membiarkan Istrinya Berbusana yang Transparan
Bagi suami
yang membiarkan istrinya berbusana yang transparan maka hukumnya dosa, karna aurat
wanita yang tak boleh terlihat di hadapan laki-laki lain (selain suami dan
mahramnya) adalah seluruh anggota badannya kecuali wajah dan telapak tangan.
Islam
mengharamkan perempuan memakai pakaian yang membentuk dan tipis sehingga nampak
kulitnya. Termasuk di antaranya ialah pakaian yang dapat mempertajam
bagian-bagian tubuh khususnya tempat-tempat yang membawa fitnah, seperti:
payudara, paha, dan sebagainya.
Dalam
haditsnya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Ada
dua golongan dari ahli neraka yang belum pernah saya lihat keduanya itu: (1)
Kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi yang mereka pakai buat memukul orang
(penguasa yang kejam); (2) Perempuan-perempuan yang berpakaian tetapi
telanjang, yang cenderung kepada perbuatan maksiat, rambutnya sebesar punuk
unta. Mereka ini tidak akan bisa masuk surga, dan tidak akan mencium bau surga,
padahal bau surga itu tercium sejauh perjalanan demikian dan demikian.” (HR.
Muslim, Babul Libas)
[Bukhtun
adalah salah satu macam daripada unta yang mempunyai kelasa (punuk) besar :
rambut orang-orang perempuan seperti punuk unta tersebut karena rambutnya
ditarik ke atas.]
Mereka
dikatakan berpakaian, karena memang mereka itu melilitkannya pakaian pada
tubuhnya, tetapi pada hakikatnya pakaiannya itu tidak berfungsi menutup aurat,
karena itu mereka dikatakan telanjang, karena pakaiannya terlalu tipis sehingga
dapat memperlihatkan kulit tubuh seperti kebanyakan pakaian perempuan sekarang
ini.
20) Bagaimana
Hukumnya Istri yang Membiarkan Suami Bermaksiat Kepada Allah
Seorang istri yang membiarkan suaminya bermaksiat kepada Allah hukumnya
dosa, karna perintah Allah adalah, Demi masa, Sesungguhnya manusia itu
benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan
nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS : Al'Ashr 103 :1-3)
21) Bagaimana
Hukumnya Istri Berpuasa Sunnah sedang Suami tidak Mengizinkan
Termasuk hak seorang suami terhadap istri, yaitu Istri tidak boleh puasa
sunnah kecuali dengan izin suaminya, terutama jika suami sedang berada di rumah
seharian. Rasulullah saw bersabda: “Tidak boleh seorang istri puasa (sunnah)
sementara suaminya ada di tempat kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Bukhari
dan Muslim). Suami berhak mendapatkan kesenangan bersama istrinya yang harus
segera ditunaikan dan tidak boleh tertunda dikarenakan sang istri sedang puasa
sunnah. Oleh sebab itu lah istri bisa berpuasa sunnah hanya atas izin suami.
22) Hukum Istri
Keluar Rumah tanpa izin Suami
Termasuk hak seorang suami terhadap istri, yaitu Dimintai izin oleh istri
yang hendak keluar rumah. Istri tidak boleh keluar rumah kecuali seizin suami.
Hal ini termasuk ketika istri ingin mengunjungi orangtuanya serta kebutuhan
lainnya. Istri yang keluar rumah tanpa seizing suaminya cenderung menimbulkan
fitnah hingga maksiat kepada Allah swt.
Di dalam hadits disebutkan:
وَلا تَخرُجُ
مِن بَيتِهِ إلاَّ بِإذنِهِ ، فَإنْ فَعَلَتْ لَعنَتْها مَلائِكَةُ السَّمَاوَاتِ ومَلائِكَةُ
الأرْضِ ومَلائِكةُ الرِّضَاء ومَلائِكةُ الغَضَب
“Dia tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya.
Jika dia melakukan, maka malaikat di langit dan di bumi, serta malaikat ridha
dan benci melaknatnya.”
Assalamu'alaikum Ukhty...
BalasHapussalam kenal...
Waalaikumsalam,, Senang mengenalmu... ^_^
BalasHapus