Assalamualaikum.....

kupu2

My Site

Hi Ahlan Wasahlan, You are welcome to my site.....


Jumat, 15 April 2011

Beberapa Hukum Permasalahan dalam Pernikahan

1).  Hukum Nikah dengan Niat Cerai
Bila seseorang (misalnya musafir) berniat menikahi wanita hingga waktu tertentu kemudian menceraikannya, tetapi akad nikahnya adalah akad mutlak (tidak disebutkan dalam akad bahwa nikahnya sekian hari/bulan/tahun), maka mengenai hal ini terdapat tiga pendapat:
Pendapat pertama: “Ini adalah nikah yang dibolehkan, dan ini pendapat jumhur/mayoritas”.
Berkata Qodli Abu Bakar Al Baqillani:
Dan mereka bersepakat bahwa sesungguhnya orang yang menikah dengan nikah mutlak dan dia meniatkan tidak akan bersama wanita tersebut kecuali dalam waktu yang diniatkannya maka nikahnya adalah nikah yang sah dan halal, dan bukan nikah mut’ah, karena nikah mut’ah hanyalah nikah adalah nikah dengan syarat (waktu tempo) yang disebutkan (dalam akad).
Ini juga pendapatnya Syaikh bin Bâz (dalam Fatâwâ Islâmiyyah)& Ibnu Taymiyyah, Ibnu Taymiyyah menyatakan :
Yang benar bahwa ini bukan termasuk nikah mut’ah dan tidak diharamkan. Sebab, dia berniat menikah dan menyukainya, berbeda dengan muhallil; tetapi dia tidak menghendaki wanita tersebut terus menyertainya. Dan ini bukan syarat; sebab wanita terus menyertainya bukanlah suatu kewajiban, bahkan dia berhak untuk menceraikannya. Jika seseorang berniat menceraikannya setelah beberapa waktu, maka dia meniatkan perkara yang diperbolehkan
Pendapat kedua : Haram, (ini pendapatnya Al Auza’i, juga Al Utsaimin) disamakan dengan mut’ah atau nikah tahlil yang tidak dibolehkan.
Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, karena niat tidak termasuk syarat atau rukun nikah. Al-Hasan bin ‘Ali sering bercerai, sampai sampai Aly kw berkata kepada manusia: janganlah kalian menikahkan anak kalian dengan Hasan karena dia akan menceraikannya. Nikah ini berbeda dengan nikah muhallil (menikahi wanita yang ditalak 3 kemudian dicerai agar suami pertama yang mentalaknya bisa kembali ke istrinya), perbedaannya telah dijelaskan Ibnu Taymiyyah, dan juga bukan nikah mut’ah. Kalau nikah mut’ah otomatis berakhir tatkala waktu nya habis, sedangkan nikah dengan niat cerai nikahnya tetap abadi sampai suami menceraikan, dan jika tidak diceraikan maka tetap berlangsung selamanya.
Disisi lain, niat akan menceraikan tidak otomatis menjadikan jatuhnya cerai. Zaid (bin Haritsah) pernah berniat menceraikan isterinya, dan dengan niat itu tidak membuat isterinya keluar dari kedudukannya sebagai isteri. Bahkan ia tetap menjadi isterinya hingga dia benar-benar menceraikannya.
 Akan tetapi walaupun halal, Imam Malik mengatakan:
“Ini bukan akhlaqnya manusia.
Meskipun ini halal, namun hendaknya kita berfikir apakah kira-kira kita ridlo jika kita punya putri atau saudara perempuan dinikahi dg seperti ini, kalau tidak maka tidak usah berfikir untuk melakukannya (walaupun orang sekarang mungkin banyak yang ridlo). Kalau mau nambah lagi ya yang serius dan penuh tanggung jawab.
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga dia mencintai (kebaikan) untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai (kebaikan) untuk dirinya sendiri.”(HR Bukhari (no.12))
2)      Hukum Orangtua Memaksakan Anaknya Nikah

Islam memberikan kesamaan hak terhadap laki-laki dan perempuan dalam memilih pendamping hidup masing-masing, dan islam tidak pernah memberikan power berupa hak maupun kewajiban kepada orang tua untuk memaksa anaknya dalam menikah, melainkan islam memberikan suatu peran bagi orang tua dalam berlakon sebagai penasehat, pemberi        arahan dan petunjuk dalam masalah memilih calon pasangan anaknya dan tidak berhak orang tua memaksa anaknya baik laki-laki maupun perempuan untuk menikah dengan orang yang tidak mereka ingini atau bukan pilihan mereka.

Nikah adalah keistimewaan dan masalah pribadi setiap orang, sehingga pemaksaan orang tua atau salah satu orang tua terhadap anaknya untuk nikah dengan orang yang tidak diinginkannya hukumnya adalah haram secara Syar’i, karena itu merupakan perbuatan dzalim dan melanggar hak-hak orang lain. Wanita dalam islam mempunyai kebebasan mutlak dalam menerima atau menolak orang yang datang mempersuntingnya sehingga orang tua tidak mempunyai hak apalagi kewajiban dalam memaksanya karena kehidupan berumah-tangga tidak akan berjalan mulus bahkan akan merusak pernikahan apabila pernikahan tersebut didasari oleh paksaan dan kepura-puraan.

Telah banyak dalil-dalil dan fakta-fakta yang menunjukkan pengharamannya dalam islam yang mana telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW baik secara Qawli maupun Fi’ly sebagai bantahan terhadap aturan-aturan yang ada pada zaman jahiliah berupa diskriminasi terhadap wanita dalam masalah pernikahan, sehingga Rasulullah menetapkan suatu ketetapan hukum tentang keberadaan hak seorang wanita dalam menentukan pasangan hidupnya, serta membatalkan hukum suatu perkawinan yang dilandasi oleh pemaksaan dan keterpaksaan meskipun yang memaksa dalam hal ini adalah seorang ayah. Hal ini juga menunjukkan penyalahan terhadap adat istiadat orang-orang arab pada saat itu, sebagai ujian bagi mereka dalam menerima syariat islam yang sangat memuliakan wanita dan menjunjung tinggi hak-hak wanita dalam memilih pasangannya. Sebagaimana dalam hadits-hadits di bawah ini:

a. Dalam musnad Ahmad jilid 2 hal:434 dan juga dalam Shahih Bukhari jilid 5 Hal:1974 dan dalam Shahih Muslim jilid 2 Hal:1036, Rasulullah SAW bersabda:”Janganlah mengawinkan anak wanita (perawan) sehingga kamu meminta izin dan mendapat persetujuan darinya, sahabat bertanya : bagaimanakah tanda setujuanya, Rasul menjawab:”diamnya” adalah setujunya.

b. Dalam musnad Ahmad, jilid 1, Hal:117 dan Sunan Abi Daud jilid 2,Hal:232 dan Sunan Ibnu Majah jilid 1,Hal:603. Diriwayatkan bahwa seorang wanita telah datang mengadu kepada Rasulullah SAW akan perihal ayahnya yang memaksanya kawin dengan orang yang tidak diinginkannya. Maka Rasul menjawab La Nikaha Lahu”.

c. Dalam Al Kubra diriwatkan oleh Nasai bahwa seorang ayah telah memaksa anaknya untuk menikah, hal tersebut diadukan kepada Rasulullah SAW, maka Rasul menjawab La Nikaha Lahu Inkihi Ma Syi’ta, tidak sah nikahnya, kawinilah yang kamu kehendaki.

d. Dalam I’lam Al Muqiin oleh Ibnu Qayyim jilid 4, Hal:260-261. Seorang wanita telah mengadu kepada Rasulullah tentang ayahnya yang memaksanya untuk menikah dengan orang yang tidak diinginkannya. Maka Rasulullah menghampiri ayahnya dan menyuruhnya untuk meminta izin dan persetujuan dari sang anak.

Islam sangat memperhatikan masalah memilih pasang suami dan istri yang pada hakekatnya adalah memperhatikan dasar-dasar terbentuknya suatu keluarga yang sakinah, dimana dumulai dengan pertemuan antara laki-laki dan perempuan yang mempunyai keinginan dan untuk mewujudkannya haruslah dibutuhkan pengertian antara keduanya.

3)      Hukum Melakukan Azal
Azal yaitu menumpahkan air mani di luar kemaluan, apabila untuk mashlahah (kebaikan) hukumnya boleh. Diriwayatkan  dari para sahabat -radhiyallahu 'anhum- bahwa mereka melakukan azal dan Nabi Muhammad sallalahu’alaihi wassalam membiarkan mereka atas hal itu (tidak menegur/melarang). Dan hal itu apabila untuk mashlahat: bisa jadi karena ia belum menghendaki kehamilan pada saat itu, atau seperti yang disebutkan oleh penanya karena ia diharamkan melakukan hubungan intim (jima') karena istrinya haidh atau nifas apabila kebutuhan menuntut untuk melakukan hal itu, karena yang diharamkan adalah jima'. Dan disebutkan dalam hadits pada wanita yang haidh:
قال رسول الله:(اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْئٍ إِلاَّ النَكَاحَ)
Rasulullah salallahu’alaihi wassalam bersabda: "Lakukanlah segala sesuatu kecuali nikah (jima')."[1]
Maksud nikah dalam hadits tersebut adalah jima'. Maka ia boleh bermesraan dengannya seperti mengecup, memeluk, dan menikmati dengan paha dan perutnya atau semisalnya. Akan tetapi yang lebih baik hendaklah istrinya memakai sarung dan celana untuk menjauhkan diri dari bahaya. Karena sesungguhnya bermesraan di sekitar kemaluan bisa membawa kepada jima'. Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: 'Nabi Muhammad salallahu’alaihi wassalam menyuruh salah seorang dari kami (istri-istri beliau) –apabila beliau ingin bermesraan dengannya, saat istrinya haid- agar ia memakai sarung, lalu beliau bermesraan dengannya dari belakangnya.'[2] Seperti inilah diriwayatkan dalam riwayat yang shahih dari Aisyah radhiyallahu 'anha. Maksudnya sesungguhnya sunnah bagi suami, apabila perempuan (istrinya) sedang haid atau nifas bahwa bercumbu dengannya dari belakang sarung atau celana dalam atau semisalnya. Akan tetapi jika bercumbu dengannya di dalam sarung atau celana dalam maka tidak mengapa dalam hal itu, berdasarkan hadits yang disebutkan di atas:
قال رسول الله: (اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْئٍ إِلاَّ النَكَاحَ)

Rasulullah sallahu’alaihi wassalam bersabda: "Lakukanlah segala sesuatu kecuali nikah (jima')."
Bangsa Yahudi, apabila istri-istri dari mereka haid, mereka tidak makan bersamanya, tidak minum bersamanya, dan tidak tinggal bersamanya di dalam rumah."
4)      Hukum Istri Menolak Tinggal Bersama Keluarga Suaminya
Istri yang tidak mau tinggal dengan keluarga suami dengan alasan suami belum mempunyai rumah sendiri adalah tindakan yang melanggar hukum. Kalau suami belum bisa membelikan rumah dan masih menumpang tinggal di rumah ibunya, maka Anda tetap harus ikut suami karena sebagai istri, Anda wajib taat pada suami. Tentu saja, Anda boleh mendiskusikan keberatan-keberatan jika harus tinggal dengan mertua. Namun demikian, Anda tidak boleh ekstrem menolak tinggal dengan ibu mertua karena cara seperti itu tidak benar secara etika maupun agama.
Seorang wanita yang siap dinikahi, berarti dia harus siap menerima segala kekurangan yang ada pada suaminya. Sebaliknya, seorang lelaki yang siap menikahi seorang perempuan, berarti dia harus menerima segala kekurangan perempuan itu. Adalah suatu kekeliruan apabila kita menikah tetapi tidak mau menerima kekurangan pasangan masing-masing. Kalau memang suami Anda belum mampu membelikan rumah dan yang ada hanyalah rumah orangtuanya dan di rumah tersebut hanya tinggal ibunya sendiri yang butuh ditemani, maka seorang istri harus siap menerima kenyataan itu walaupun harus serumah dengan mertuanya. Itulah konsekwensi sebuah pernikahan, harus ada pengorbanan.
5)      Hukum Menunda Nikah karena masih Belajar

Hukumnya adalah bahwa hal seperti itu bertentangan dengan perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebab beliau bersabda:

"Artinya : Apabila datang (melamar) kepada kamu lelaki yang kamu ridhai akhlak dan (komitmennya kepada) agamanya, maka kawinkanlah ia (dengan putrimu)".

"Artinya : Wahai sekalian pemuda, barangsiapa diantara kamu yang mempunyai kemampuan, maka menikahlah, karena menikah itu lebih dapat menahan pandangan mata dan lebih menjaga kehormatan diri".

Tidak mau menikah itu berarti menyia-nyiakan maslahat pernikahan. Maka nasehat saya kepada saudara-saudaraku kaum Muslimin, terutama mereka yang menjadi wali bagi putri-putrinya dan saudari-saudariku kaum Muslimat, hendaklah tidak menolak nikah (perkawinan) dengan alasan ingin menyelesaikan studi atau ingin mengajar.

Perempuan bisa saja minta syarat kepada calon suami, seperti mau dinikahi tetapi dengan syarat tetap diperbolehkan belajar (meneruskan studi) hingga selesai, demikian pula (kalau sebagai guru) mau dinikahi dengan syarat tetap menjadi guru sampai satu atau dua tahun, selagi belum sibuk dengan anak-anaknya. Yang demikian itu boleh-boleh saja, akan tetapi adanya perempuan yang mempelajari ilmu pengetahuan di Perguruan Tinggi yang tidak kita butuhkan adalah merupakan masalah yang masih perlu dikaji ulang.

Menurut pendapat saya bahwa apabila perempuan telah tamat Tingkat Dasar (SD) dan mampu membaca dan menulis dengannya ia dapat membaca Al-Qur'an dan tafsirnya, dapat membaca hadits dan penjelasannya (syarahnya), maka hal itu sudah cukup, kecuali kalau untuk mendalami suatu disiplin ilmu yang memang dibutuhkan oleh ummat, seperti kedokteran (kebidanan, -pent-) dan lainnya, apabila di dalam studinya tidak terdapat sesuatu yang terlarang, seperti ikhtilat (campur baur dengan laki-laki) atau hal lainnya.


6)      Hukum Menyandingkan Kedua Mempelai di hadapan para tamu


Di antara perkara munkar yang dilakukan oleh banyak orang pada zaman sekarang ini adalah meletakkan tempat duduk bagi kedua mempelai di hadapan para tamu wanita, dimana mempelai laki-laki duduk di situ di hadapan kaum wanita yang tidak memakai jilbab dan bertabarruj (berdandan), bahkan boleh jadi ada di antara keluarga mempelai laki-laki turut hadir bersamanya atau laki-laki dari kerabat dekat mempelai perempuan.

Tidak diragukan lagi bagi orang-orang yang masih mempunyai fitrah suci dan ghirah (kecemburuan) agama bahwa perbuatan seperti itu banyak mengandung kerusakan besar, laki-laki asing mempunyai peluang besar untuk melihat perempuan-perempuan mutabarrijat (dengan dandanan dan perhiasan yang dapat mengundang fitnah dan maksiat, pent) dan akibat buruk yang akan timbul darinya. Maka wajib dicegah dan dihapuskan sama sekali karena pertimbangan banyak fitnahnya dan demi memelihara komunitas masyarakat wanita dari hal-hal yang menyalahi syari’at Islam yang suci.
Perbuatan seperti itu haram hukumnya dan tidak boleh dilakukan, karena bersandingnya kedua mempelai di hadapan kaum wanita pada acara tersebut, tidak diragukan lagi, dapat menimbulkan fitnah (maksiat) dan membangkitkan gairah syahwat, bahkan bisa berbahaya terhadap istri (mempelai wanita), karena bisa saja sang suami melihat perempuan yang ada di hadapannya yang lebih cantik daripada istrinya dan lebih bagus posturnya, hingga ia kurang tertarik kepada istri yang ada di hadapannya dimana ia mengira (sebelumnya) bahwa istrinya adalah wanita yang paling cantik dan bagus.
Maka wajib hukumnya menghindari perbuatan seperti itu, pengantin perempuan tetap berada di tempat di mana hanya suaminya yang menjumpainya, dan tidak mengapa keluarga suami turut menjumpainya bersamanya jika mereka hendak mengucapkan selamat dan do’a restu untuk mereka berdua, namun suami tidak duduk berdampingan dengan istrinya, ngobrol atau melakukan apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang awam, seperti memberinya permen atau lainnya. Semua kebiasaan buruk seperti itu bukanlah kebiasaan kaum muslimin, melainkan kebiasaan dan adat yang diada-adakan yang dibawa oleh musuh-musuh Islam kepada kaum muslimin dan mereka pun mengikuti dan menirukannya.

7)      Hukum Zhihar dan Kafaraatnya

Barangsiapa yang mengatakan kepada isterinya ’Bagiku engkau seperti punggung ibuku”, berarti dia menzhihar isterinya dan menjadi haram baginya isterinya, maka dia tidak boleh mencampurinya dan tidak pula bermesraan dengannya melalui bagian anggota tubuhnya yang mana saja sebelum dia menebusnya dengan membayar kafarah sebagaimana yang telah ditentukan Allah dalam kitab-Nya:
”Dan orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan maka (wajib atasnya) memerdekakan orang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa saja yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-tutur sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah dan bagi orang kafir ada siksaan yang pedih.” (Al-Mujadalah: 3-4).
Dari Khuwailah binti Malik bin Tsa’labah bertutur, ”Suamiku Aus bin ash-Shamit telah menzhiharku. Lalu aku datang, menemui Rasulullah saw. mengadukan hal tersebut kepada beliau, namun beliau mendebat aku perihal suamiku. Beliau bersabda (kepadaku), ’Bertakwalah kepada Allah, karena sesungguhnya dia (suamiku) itu adalah pamanmu’, Aku tidak bisa tidur malam hingga Allah menurunkan ayat, ’Sesungguhnya Allah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya.’ Kemudian beliau bersabda, ’Dia harus memerdekakan seorang budak.’ Saya jawab, (Ya Rasulullah), ’Dia tidak mempunyai kekayaan yang bisa dipergunakan untuk memerdekakan budak.’  Sabda beliau lagi, ’Hendaklah dia berpuasa selama dua bulan berturut-turut.’ Saya jawab, ’Ya Rasulullah, dia adalah seorang yang sangat tua, sehingga tidak mungkin dia sanggup berpuasa sebanyak itu.’  lanjut beliau, ’Hendaklah dia memberi makan enam puluh orang miskin.’ saya jawab, ’Dia sama sekali tidak mempunyai sesuatu yang cukup dishadaqahkan kepada mereka itu,’  maka pada saat itu dia dibawakan satu ’arak(sha’) kurma kering. Kemudian saya berkata, ”Ya Rasulullah aku akan membantunya dengan satu arak (satu sha’) yang lain.’ Sabda beliau, ”Engkau telah berbuat baik, pergi dan bershadaqahlah untuknya dengan korma itu kepada enam puluh orang miskin. Kemudian hendaklah engkau kembali ke pangkuan putera pamanmu.’ Sabda beliau (lagi), ’Dan satu ’arak itu adalah enam puluh sha.’” (Hasan: Shahih Abu Daud no:1934, tanpa perkataan ”WAL ’ARAK” (Dan, satu ’arak), dan ”Aunul Ba’bud VI: 301 no:2199).
Dari Urwah bin az-Zubair bahwa Aisyah r.a. berkata, ”Maha Suci Dia yang pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu. Sesungguhnya aku benar-benar mendengar perkataan Khaulah binti Tsa’labah yang sebagian perkataannya untuk tidak jelas bagiku, yaitu dia mengadukan ikwal suaminya kepada Rasulullah saw. yakni ia berkata, ”Ya Rasulullah, dia (suamiku) telah menikmati masa mudaku dan perutku telah melahirkan banyak anak darinya hingga ketika usiaku tua dan sudah menopouse, dia menzhiharku. Allahumma, ya Allah, sejatinya aku mengadukan (ihwalnya) kepadamu. Maka hingga malaikat Jibril menurunkan beberapa ayat, ”Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:1678 dan Ibnu Majah I:666 no:2063).
Barangsiapa yang menzhihar isterinya dalam jangka sehari atau sebulan, semisalnya, yaitu dia berkata, ”Bagiku engkau seperti punggung ibuku selama sebulan”, misalnya jika dia menepati sumpahnya, maka, dia tidak terkena denda namun manakala dia mencampurinya sebelum berakhirnya waktu yang telah ditetapkannya, maka dia wajib membayar kafarah zhihar.

Dari Salamah bin Shakhr al-Bayadhl bercerita, Dahulu aku adalah laki-laki yang mempunyai hasrat besar kepada wanita tidak seperti kebanyakan orang. Ketika tiba bulan Ramadhan, aku pernah menzhihar isteriku hingga bulan Ramadhan berakhir. Pada suatu malam tatkala ia berbincang-bindang denganku, tiba-tiba tersingkaplah kepadaku kain yang menutupi sebagian dari anggota tubuhnya maka akupun melompatinya lalu kucampuri ia. Dan pada pagi harinya aku pergi menemui kaumku lalu aku memberitahukan mengenai diriku kepada mereka. Aku berkata kepada mereka, ”Tanyakanlah kepada Rasulullah saw. mengenai persoalan ini. Maka jawab mereka,  ’kami tidak mau. Kami khawatir jangan-jangan ada wahyu yang turun mengenai kita atau Rasulullah saw bersabda tentang sesuatu mengenai diri kita sehingga tercela selamanya. Tetapi nanti akan kamu serahkan sepenuhnya kepadamu persoalan ini. Pergilah dan sebutkanlah urusanmu itu kepada Rasulullah saw. ”Maka akupun langsung berangkat menghadap Nabi saw. kemudian aku utarakan hal tersebut kepada Beliau. Maka Beliau saw bertanya ”Apakah benar kamu melakukan hal itu?” Saya jawab ”Ya, dan inilah supaya Rasulullah aku akan sabar dan tabah menghadapi putusan Allah atas diriku,” Sabda Beliau ”Merdekakanlah seorang budak.” Saya jawab, ”Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa yang haq, aku tidak pernah memiliki (seorang budak) kecuali diriku ini.” Sabda Beliau, ”Kalau begitu puasalah dua bulan berturut-turut.” Saya jawab, ”Ya Rasulullah, bukankah cobaan yang telah menimpaku ini terjadi ketika aku sedang berpuasa”, Sabda Beliau, ”Kalau begitu bershadaqahlah, atau berilah makan kepada enam puluh orang miskin.” Saya jawab, ”Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa yang Haq sesungguhnya kami telah menginap semalam (tatkala terjadi perselisihan itu sedang kami akan makan malam. ’Maka sabda Beliau ”Pergilah kamu kepada siapa saja yang akan bershadaqah dari Bani Zuraiq. Kemudian katakanlah kepada mereka supaya memberikannya kepadamu. Lalu (dari shadaqah itu) berilah makan enam puluh orang miskin, dan selebihnya gunakanlah (untuk dirimu dan keluargamu).” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:1677, Ibnu Majah I : 665 no:2062 dan ’Aunul Ma’bud VI:298 no:2198, Tirmidzi II:335 no:1215 secara ringkas).

Walhasil bahwa Nabi saw tidak menegur Salamah bin Shakhr al-Bayadhi karena Menshihar isterinya. Beliau menegurnya, karena ia mencampuri isterinya. Beliau menegurnya, kerena ia mencampuri isterinya sebelum berakhir rentang waktu yang ditetapkannya.

Hukum Zhihar
zhihar adalah haram, karena Allah SWT mengkategorikan zhihar sebagai perkataan yang mungkar dan dusta, dan Dia mengingkari orang yang menzhihar isterinya. Allah SWT berfirman, ”Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu (menganggap isterinya sebagai ibunya), padahal tiadalah isteri mereka ibu mereka. Ibu-ibu meraka tidak lain hanyalah yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapka suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesugguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (Al-Mujadilah:2).

8)      Hukum Menikahi Wanita Pezina

Ada sebuah ayat yang kemudian dipahami secara berbeda oleh para ulama. Meski pun jumhur ulama memahami bahwa ayat ini bukan pengharaman untuk menikahi wanita yang pernah berzina.

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu`min. (QS. An-Nur : 3)

Lebih lanjut perbedaan pendapat itu adalah sbb :

1. Pendapat Jumhur (mayoritas) ulama

Jumhurul Fuqaha mengatakan bahwa yang dipahami dari ayat tersebut bukanlah mengharamkan untuk menikahi wanita yang pernah berzina.

Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yang pezina sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafaz ayat yang zahirnya mengharamkan itu ?

Para fuqaha memiliki tiga alasan dalam hal ini. Dalam hal ini mereka mengatakan bahwa lafaz `hurrima` atau diharamkan di dalam ayat itu bukanlah pengharaman namun tanzih (dibenci).

Selain itu mereka beralasan bahwa kalaulah memang diharamkan, maka lebih kepada kasus yang khusus saat ayat itu diturunkan.

Mereka mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu :

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur : 32).

Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar As-Shiddiq ra dan Umar bin Al-Khattab ra dan fuqaha umumnya. Mereka membolehkan seseorang untuk menikahi wanita pezina. Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah secara syah.

Pendapat mereka ini dikuatkan dengan hadits berikut :

Dari Aisyah ra berkata,`Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda,`Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal`. (HR. Tabarany dan Daruquthuny).

Juga dengan hadits berikut ini :

Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW,`Istriku ini seorang yang suka berzina`. Beliau menjawab,`Ceraikan dia`. `Tapi aku takut memberatkan diriku`. `Kalau begitu mut`ahilah dia`. (HR. Abu Daud dan An-Nasa`i)

2. Pendapat Yang Mengharamkan

Meski demkikian, memang ada juga pendapat yang mengharamkan total untuk menikahi wanita yang pernah berzina. Paling tidak tercatat ada Aisyah ra, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra` dan Ibnu Mas`ud. Mereka mengatakan bahwa seorang laki-laki yang menzinai wanita maka dia diharamkan untuk menikahinya. Begitu juga seorang wanita yang pernah berzina dengan laki-laki lain, maka dia diharamkan untuk dinikahi oleh laki-laki yang baik (bukan pezina).

Bahkan Ali bin abi Thalib mengatakan bahwa bila seorang istri berzina, maka wajiblah pasangan itu diceraikan. Begitu juga bila yang berzina adalah pihak suami. Tentu saja dalil mereka adalah zahir ayat yang kami sebutkan di atas (aN-Nur : 3).

Selain itu mereka juga berdalil dengan hadits dayyuts, yaitu orang yang tidak punya rasa cemburu bila istrinya serong dan tetap menjadikannya sebagai istri.

    Dari Ammar bin Yasir bahwa Rasulullah SAW bersbda,`Tidak akan masuk surga suami yang dayyuts`. (HR. Abu Daud)

3. Pendapat Pertengahan

Sedangkan pendapat yang pertengahan adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau mengharamkan seseorang menikah dengan wanita yang masih suka berzina dan belum bertaubat. Kalaupun mereka menikah, maka nikahnya tidak syah.

Namun bila wanita itu sudah berhenti dari dosanya dan bertaubat, maka tidak ada larangan untuk menikahinya. Dan bila mereka menikah, maka nikahnya syah secara syar`i.
Nampaknya pendapat ini agak menengah dan sesuai dengan asas prikemanusiaan. Karena seseroang yang sudah bertaubat berhak untuk bisa hidup normal dan mendapatkan pasangan yang baik.

9)      Hukum Suami Tunduk pada Istri

Seorang suami adalah pemimpin dalam rumah tangga. ALLOH SWT berfirman, "Laki-laki adalah pemimpin kaum wanita, karena ALLOH telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lainnya dan karena mereka telah membelanjakan sebagian harta mereka…" (Q.S. An-Nissa [4]: 34).

Bagi suami yang tunduk terhadap istri, maka dia telah gagal dalam kepemimpinan rumah tangganya.
Hak kepemimpinan diperoleh suami karena keunggulan struktur dirinya daripada perempuan, juga karena dia memikul tanggung jawab kehidupan sehari-hari yang berat.

مَنْ كَان له امرأة تُؤذِيه لَم يَقْبل اللهُ صَلاتَهَا ، وَلا حَسَنَة مِن عَمَلِها ، حَتَّى تُعِينَه وتُرضِيه وإنْ صَامَتِ الدَّهْرَ ، وعَلَى الرَّجُلِ مِثلُ ذَلكَ الوِزْر ، إذا كَانَ لَهَا مُؤذياً ظَالِماً

“Orang yang memiliki istri yang menyakitinya, Allah SWT tidak menerima shalat atau kebaikan yang dilakukan istrinya itu, sampai istri itu menolong dan membuatnya ridha meskipun si istri berpuasa dahr. Suami juga akan mendapat dosa seperti itu jika dia menyakiti dan menzalimi istrinya.”

10)  Hukum Bagaimana Adat Nikah Menurut Islam

Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara pernikahan berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih (sesuai dengan pemahaman para Salafus Shalih).
Khitbah (meminang). Seorang muslim yang akan menikahi seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain. Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain (Muttafaq 'alaihi). Dalam khitbah disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Darimi).

Aqad nikah. Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi yaitu:
Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
Adanya Ijab Qabul.
Adanya Mahar.
Adanya Wali.
Adanya Saksi-saksi.

Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan 'khutbah' terlebih dahulu yang dinamakan 'Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat'. Walimah 'urusy (resepsi pernikahan). Walimatul 'urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin. Hendaknya diundang juga orang-orang miskin. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya". (Hadits Shahih Riwayat Muslim dan Baihaqi dari Abu Hurairah).
Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin. Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: "Janganlah kamu bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang taqwa". (Hadist Shahih Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim dan Ahmad dari Abu Sa'id Al-Khudri).
Adapun Penyelewengan dalam Pernikahan adalah, Mengikuti upacara adat.
Ajaran dan peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara (upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam) maka wajib untuk dihilangkan. Umumnya umat Islam dalam cara perkawinan selalu meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat, sehingga sunnah-sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang benar dan shahih telah mereka matikan dan padamkan (sesuai pengamatan dan perbincangan penulis). Sungguh sangat ironis...!. Kepada mereka yang masih menuhankan adat istiadat jahiliyah dan melecehkan konsep Islam, berarti mereka belum yakin kepada Islam.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?". (Al-Maaidah : 50). Orang-orang yang mencari konsep, peraturan, dan tatacara selain Islam, maka semuanya tidak akan diterima oleh Allah dan kelak di akhirat mereka akan menjadi orang-orang yang merugi, sebagaimana firman Allah Ta'ala: "Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi". (Ali-Imran : 85).
                              
11)  Hukum Berjima’ saat Istri sedang Haid

Setidaknya ada beberapa hukum terkait dengan wanita haid. Salah satu di antara hukum-hukum tersebut adalah diharamkannya suami mencampuri (bersenggama) istri yang sedang haid.
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq -Rahimahumullah- dalam buku beliau mengatakan diharamkan mencampuri istri yang sedang haid, berdasarkan firman Allah -Subhanahu wa Ta’ala-:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintakan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang meyucikan diri.” (Al-Baqarah : 222)
Maksud dari perkataan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci adalah larangan untuk berjima’ (bercinta) dengan Istri saat masih dalam keadaan haid.
Dalam sebuah hadits Rasulullah -Shallallahu alaihi wa Salam- bersabda,
“Lakukanlah segala sesuatu terhadapnya kecuali menyetubuhinya.” (Riwayat Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darimi)
Larangan yang lebih tegas dikatakan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa Salam- dalam sabdanya,
“Barangsiapa yang menjima’i (menyetubuhi) istrinya yang sedang dalam keadaan haid atau menjima’i duburnya (anal seks), maka sesungguhnya ia telah kufur kepada Muhammad -Shallallahu alaihi wa Salam-.”
                                                       
12)  Hukum Bermimpi Wajah Calon Istri

Bermimpi calon istri hukumnya tidak dibenarkan karna tidak mungkin, dan sesungguhnya kepastian hanyalah milik Allah, dan hanya Rosullulloh sajalah yang Allah izinkan untuk memimpikan calon istrinya, Aisyah dipersunting oleh Rasulullah SAW berdasarkan perintah Allah melalui wahyu dalam mimpi beliau. Rasulullah SAW mengisahkan tiga mimpi beliau kepada ‘Aisyah, “Aku melihatmu dalam mimpiku selama tiga malam, ketika itu datang bersamamu malaikat yang berkata: ini adalah istrimu. Lalu aku singkap tirai yang menyembunyikan wajahmu, lalu aku berkata sesungguhnya hal itu telah ditetapkan di sisi Allah. ” (HR Bukhari Muslim)

Seseorang boleh saja untuk mencari tahu tentang tafsiran mimpinya jika dia merasa mimpi itu mengandung makna. Telah diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw. bertanya kepada para sahabatnya setelah sholat Subuh, “siapa diantara kalian yang bermimpi tadi malam?” dan lalu beliau menafsirkannya untuk mereka. Kita juga diberitahukan bagaimana semestinya menghadapi mimpi kita.

1. Jika itu mimpi buruk, maka acuhkan saja dan jangan ceritakan kepada orang lain.

2. Jika itu mimpi yang baik maka ceritakanlah kepada orang-orang terdekat.

3. Mimpi bukanlah sebuah sumber 'Undang-undang'; tidak ada keputusan untuk melaksanakan yang bersumber dari mimpi.

Untuk itu jika anda ingin mengetahui tafsiran mimpi yang anda alami maka dekatilah seseorang yang mampu, memiliki ilmu dan alim.


13)  Hukum Istri Membocorkan Rahasia Suami

Istri adalah tempat rahasia suami dan orang yang paling dekat dengannya serta paling tahu kekhususannya (yang paling pribadi dari diri suami). Bila menyebarkan rahasia merupakan sifat yang tercela untuk dilakukan oleh siapa pun maka dari sisi istri lebih besar dan lebih jelek lagi.
Sesungguhnya majelis sebagian wanita tidak luput dari membuka dan menyebarkan aib-aib suami atau sebagian rahasianya. Ini merupakan bahaya besar dan dosa yang besar. Karena itulah ketika salah seorang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebarkan satu rahasia beliau, datang hukuman keras, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersumpah untuk tidak mendekati isti tersebut selama satu bulan penuh.

Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat-Nya berkenaan dengan peristiwa tersebut.

وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ
                 
“Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari isteri-isterinya suatu peristiwa. Maka tatkala si istri menceritakan peristiwa itu (kepada yang lain), dan Allah memberitahukan hal itu kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepada beliau) dan menyembunyikan sebagian yang lain.” (At Tahriim: 3)

Suatu ketika Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam mengunjungi putranya Ismail, namun beliau tidak mejumpainya. Maka beliau tanyakan kepada istri putranya, wanita itu menjawab: “Dia keluar mencari nafkah untuk kami.” Kemudian Ibrahim bertanya lagi tentang kehidupan dan keadaan mereka. Wanita itu menjawab dengan mengeluh kepada Ibrahim: “Kami adalah manusia, kami dalam kesempitan dan kesulitan.” Ibrahim ‘Alaihis Salam berkata: “Jika datang suamimu, sampaikanlah salamku padanya dan katakanlah kepadanya agar ia mengganti ambang pintunya.” Maka ketika Ismail datang, istrinya menceritakan apa yang terjadi. Mendengar hal itu, Ismail berkata: “Itu ayahku, dan ia memerintahkan aku untuk menceraikanmu. Kembalilah kepada keluargamu.” Maka Ismail menceraikan istrinya. (Riwayat Bukhari)
Ibrahim ‘Alaihis Salam memandang bahwa wanita yang membuka rahasia suaminya dan mengeluhkan suaminya dengan kesialan, tidak pantas untuk menjadi istri Nabi maka beliau memerintahkan putranya untuk menceraikan istrinya.
Oleh karena itu, wahai saudariku muslimah, simpanlah rahasia-rahasia suamimu, tutuplah aibnya dan jangan engkau tampakkan kecuali karena maslahat yang syar’i seperti mengadukan perbuatan dhalim kepada Hakim atau Mufti (ahli fatwa) atau orang yang engkau harapkan nasehatnya. Sebagimana yang dilakukan Hindun radliallahu ‘anha di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hindun berkata: “Abu Sufyan adalah pria yang kikir, ia tidak memberiku apa yang mencukupiku dan anak-anakku. Apakah boleh aku mengambil dari hartanya tanpa izinnya?!”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ambillah yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang ma`ruf.”

Cukup bagimu wahai saudariku muslimah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِنَّ مِنْ شَرِ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ أَحَدُهُمَا سِرُّ صَاحِبَهُ

“Sesungguhnya termasuk sejelek-jelek kedudukan manusia pada hari kiamat di sisi Allah adalah pria yang bersetubuh dengan istrinya dan istri yang bersetubuh dengan suaminya, kemudian salah seorang dari keduanya menyebarkan rahasia pasanannya.”18
                                 
14)  Hukum Berzina dengan Suami Tetangga

Bila sang istri terbukti selingkuh -walaupun tidak sampai berzina- maka tindakan yang paling tepat -menurut saya- adalah wajib menceraikannya dan tidak sepantasnya seorang suami mempertahankan istri yang telah mencederai kesetiaannya dengan berbuat serong (dengan maknanya yang luas). Sebab, istri telah melakukan kesalahan yang tidak bisa dipandang remeh. Menjalin hubungan asmara terlarang dengan lelaki lain, siapapun dia.
Syaikh Prof. DR. Shalih Fauzan Al-Fauzan Hafizhahullah (seorang anggota majelis ulama besar kerajaan saudi Arabia dan anggota Islamic Fiqh Academy (IFQ) Liga Muslim Dunia (Rabithoh al-’Alam al-Islami)) memaparkan: “Apabila keadaan istri tidak lurus agamanya, seperti meninggalkan shalat atau suka mengakhirkan pelaksanaannya di akhir waktu, sementara suami tidak mampu memperbaikinya, atau bila tidak memelihara kehormatannya, maka menurut pendapat yang rajih, suami dalam kondisi ini wajib untuk menceraikan istrinya.” (Al-Mulakhas Al-Fiqhi, 2/305)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Raahimahullahu Ta’ala berkata: “Jika istri berzina, maka suami tidak boleh tetap mempertahankannya dalam kondisi ini. Kalau tidak, ia menjadi dayyuuts (suami yang membiarkan maksiat terjadi di dalam rumah)”.
Adapun bila ia tidak mau bercerai dan mengaku masih mencintai suaminya, maka ini bohong. Bila ia cinta sama suaminya kenapa harus selingkuh. Wanita yang baik dan normal tidak akan berselingkuh dengan lelaki lain, sebab ia memiliki rasa malu yang jauh lebih besar dari lelaki. Bila ia telah selingkuh dengan lelaki lain maka rasa malu tersebut tentunya hilang dan kemungkinan berselingkuh lagi sangat besar sekali. Bagaimana tidak? Ia tidak puas dengan suaminya yang ada dan telah merasakan keindahan semu selingkuhnya dengan PIL (pria Idaman Lain). Wanita yang secara umum perasaannya lebih menguasai dari akal sehatnya tentu kemungkinan mengulanginya lagi itu sangat mungkin. Apalagi PIL nya tersebut masih membuka pintu baginya.
Karena itu nasehat saya kepada suami, ceraikan saja wanita tersebut dan berilah ia kemudahan untuk mendapatkan yang ia angan-angankan. Dengan bertawakkal kepada Allah dan mengikhlaskan perceraian tersebut kepada Allah maka Allah akan menggantikan dengan yang lebih daik darinya.


15)  Hukum Meratapi Mayit Suami

Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat wanita yang meratapi kematian, yaitu wanita yang menangisi mayat dengan suara yang mirip suara burung perkutut. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknatnya karena ratapan itu mengandung perasaan sangat terpukul karena musibah dan sangat menyesal, dan setan meniupkan rasa marah terhadap takdir Allah ke dalam hati wanita.
Perkumpulan-perkumpulan yang diselenggarakan setelah meninggalnya si mayat yang mengandung jeritan dan ratapan, semuanya haram dan berdosa besar.
Seharusnya kaum muslimin rela dengan qadha' dan qadar Allah. Dan jika seseorang tertimpa musibah, hendaklah mengucapkan.                                                                                     "Artinya : Sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kepadaNya kami kembali. Ya Allah berilah aku balasan pahala dalam musibahku ini dan berilah aku ganti yang lebih baik daripada musibah ini".                                                                          Jika seseorang mengucapkannya dengan niat yang tulus dan membenarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Allah akan memberikan pengganti yang lebih baik daripada musibah yang menimpanya itu dan memberinya balasan pahala atas musibah tersebut.                                                                                                                                     Hal ini pernah dialami oleh Ummul Mukminin, Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha ketika Abu Salamah (suaminya) meninggal, ia mengucapkan itu dengan penuh keimanan terhadap ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, saat itu ia mengucapkannya :                           (Ya Allah berilah aku balasan padahal dalam musibahku ini dan berilah aku ganti yang lebih baik daripada musibah ini [Hadits Riwayat Muslim dalam Al-Jana'iz : 918]).
Lalu, apa yang terjadi ? Allah memberinya pengganti yang lebih baik dari musibah itu, yaitu ketika selesai masa iddahnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menikahinya. Tentunya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih baik daripada Abu Salamah di samping pahala di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Maka, ketika seseorang tertimpa musibah, hendaknya sabar, tabah dan mengharapkan balasan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Adapun pertemuan-pertemuan yang mengandung jeritan dan ratapan hukumnya haram, dan hendaknya kaum muslimin mengingkari dan menjauhinya.
[Nur'Ala Ad-Darb, hal. 64-65, Syaikh Ibnu Utsaimin]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]

16)  Hukum Berkhalwat dengan wanita lain Mahrom padahal Statusnya sudah menikah


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا يخلون أحدكم بامرأة فإن الشيطان ثالثهما

Janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan seorang wanita karena sesungguhnya syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.


ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يخلون بامرأة ليس معها ذو محرم منها فإن ثالثهما الشيطان

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa ada mahrom wanita tersebut, karena syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.
       
لا يخلون رجل بامرأة إلا مع ذي محرم فقام رجل فقال يا رسول الله امرأتي خرجت حاجة واكتتبت في غزوة كذا وكذا قال ارجع فحج مع امرأتك

Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kacuali jika bersama dengan mahrom sang wanita tersebut”. Lalu berdirilah seseorang dan berkata, “Wahai Rasulullah, istriku keluar untuk berhaji, dan aku telah mendaftarkan diriku untuk berjihad pada perang ini dan itu”, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kembalilah!, dan berhajilah bersama istrimu”
Apa maksud perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua”?

Berkata Al-Munawi, :”Yaitu syaitan menjadi penengah (orang ketiga) diantara keduanya dengan membisikan mereka (untuk melakukan kemaksiatan) dan menjadikan syahwat mereka berdua bergejolak dan menghilangkan rasa malu dan sungkan dari keduanya serta menghiasi kemaksiatan hingga nampak indah di hadapan mereka berdua, sampai akhirnya syaitanpun menyatukan mereka berdua dalam kenistaan (yaitu berzina) atau (minimal) menjatuhkan mereka pada perkara-perkara yang lebih ringan dari zina yaitu perkara-perkara pembukaan dari zina yang hampir-hampir menjatuhkan mereka kepada perzinaan.”
Berkata As-Syaukani, “Sebabnya adalah lelaki senang kepada wanita karena demikanlah ia telah diciptakan memiliki kecondongan kepada wanita, demikian juga karena sifat yang telah dimilikinya berupa syahwat untuk menikah. Demikian juga wanita senang kepada lelaki karena sifat-sifat alami dan naluri yang telah tertancap dalam dirinya. Oleh karena itu syaitan menemukan sarana untuk mengobarkan syahwat yang satu kepada yang lainnya maka terjadilah kemaksiatan.”
Imam An-Nawawi berkata, “…Diharamkannya berkhalwat dengan seorang wanita ajnabiah dan dibolehkannya berkholwatnya (seorang wanita) dengan mahramnya, dan dua perkara ini merupakan ijma’ (para ulama)”

17)  Hukum Seorang Wanita Menolak diajak Menikah

Dalam masalah pernikahan Wanita diberi hak untuk menentukan pendamping hidup dan diperkenankan menolak calon suami yang diajukan orang tua atau kerabat bila tdk menyukainya.
Beberapa hadits di bawah ini menjadi bukti:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 “Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah dan tdk boleh seorang gadis dinikahkan hingga diminta izinnya.” Para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah bagaimanakah izin seorang gadis?” “Izin adl dgn ia diam” jawab Rasulullah.

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
“Wahai Rasulullah sesungguh seorang gadis itu malu .” Beliau menjelaskan “Tanda ridhanya gadis itu adl diamnya.”

Khansa` bintu Khidam Al-Anshariyyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan ayah menikahkan dgn seorang lelaki ketika ia menjanda. Namun ia menolak pernikahan tersebut. Ia adukan perkara kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga akhir beliau membatalkan pernikahannya.
Hadits di atas diberi judul oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dlm kitab Shahih-nya: Bab Apabila seseorang menikahkan putri sementara putri tdk suka mk pernikahan itu tertolak.
Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq menceritakan salah seorang putri Ja’far2 merasa khawatir wali akan menikahkan secara paksa. mk ia mengutus orang utk mengadukan hal tersebut kepada dua syaikh dari kalangan Anshar ‘Abdurrahman dan Majma’ kedua adl putra Yazid bin Jariyah. Kedua berkata “Janganlah kalian khawatir krn ketika Khansa` bintu Khidam dinikahkan ayah dlm keadaan ia tdk suka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak pernikahan tersebut.”
Buraidah ibnul Hushaib radhiyallahu ‘anhu mengabarkan:
“Pernah datang seorang wanita muda menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dlm rangka mengadu ‘Ayahku menikahkanku dgn anak saudara utk menghilangkan kehinaan yg ada pada dgn pernikahanku tersebut’ ujarnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan keputusan pada . Si wanita berkata ‘Aku membolehkan ayah utk melakukannya. Ha saja aku ingin para wanita tahu bahwa ayah mereka tdk memiliki urusan sedikitpun dlm memutuskan perkara seperti ini’.” “Hadits ini shahih menurut syarat Al-Imam Muslim.”}
Islam memberikan hak seperti ini kepada wanita krn Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan wanita sebagai penenang bagi suami dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kehidupan suami istri ditegakkan di atas mawaddah wa rahmah. mk bagaimana akan terwujud makna yg tinggi ini apabila seorang gadis diambil secara paksa sebagai istri sementara ia dlm keadaan tdk suka? Lalu bila demikian keadaan sampai kapan pernikahan itu akan bertahan dgn tenang dan tenteram?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menyatakan: “Tidak boleh seorang pun menikahkan seorang wanita kecuali terlebih dahulu meminta izin sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila si wanita tdk suka maka ia tidak boleh dipaksa utk menikah. Dikecualikan dlm hal ini bila si wanita masih kecil krn boleh bagi ayah menikahkan gadis kecil tanpa meminta izinnya. Adapun wanita yg telah berstatus janda dan sudah baligh mk tdk boleh menikahkan tanpa izin sama saja baik yg menikahkan itu ayah atau yg lainnya. Demikian menurut kesepakatan kaum muslimin.”
Ibnu Taimiyyah rahimahullahu melanjutkan: “Ulama berbeda pendapat tentang izin gadis yg akan dinikahkan apakah izin itu wajib hukum atau mustahab . Yang benar dlm hal ini adl izin tersebut wajib. Dan wajib bagi wali si wanita utk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dlm memilih lelaki yg akan ia nikahkan dgn si wanita dan hendak si wali melihat apakah calon suami si wanita tersebut sekufu atau tidak. Karena pernikahan itu utk kemaslahatan si wanita bukan utk kemaslahatan pribadi si wali.”
Islam menetapkan kepada seorang lelaki yg ingin menikahi seorang wanita agar memberikan mahar pernikahan kepada si wanita. Dan mahar itu nanti adl hak si wanita tdk boleh diambil sedikitpun kecuali dgn keridhaannya.

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْئًا مَرِيْئًا
“Berikanlah mahar kepada para wanita sebagai pemberian dgn penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian dgn senang hati sebagian dari mahar tersebut mk makanlah pemberian itu yg sedap lagi baik akibatnya.”
Al-Imam Al-Qurthubi Subhanahu wa Ta’ala berkata “Ayat ini menunjukkan wajib pemberian mahar kepada wanita yg dinikahi. Ulama menyepakati hal ini tanpa ada perbedaan pendapat kecuali riwayat sebagian ahlul ilmi dari penduduk Irak yg menyatakan bila seorang tuan menikahkan budak laki2 dgn budak wanita mk tdk wajib ada mahar. Namun pendapat ini tdk dianggap.”  
18)  Hukum suami Hidup dari Hasil Nafkah Istrinya

Kewajiban memberikan nafkah ini tidaklah hilang dari diri seorang suami walaupun istrinya seorang yang kaya raya atau memiliki penghasilan sendiri. Tidak ada salahnya bagi seorang istri untuk mengingatkan suaminya akan kewajiban ini terlebih jika tampak adanya pengabaian terhadap kewajiban ini didalam dirinya.
Dan jika seorang suami tetap mengabaikan kewajibannya memberikan nafkah kepada keluarganya sehingga si istri harus menafkahi sendiri kebutuhan diri dan keluarganya dengan hartanya maka biaya yang dikeluarkannya selama itu menjadi utang yang harus dibayar oleh suaminya. Suami tetap diwajibkan membayar utang tersebut walaupun hal itu terjadi selama bertahun-tahun lamanya selama si istri belum merelakannya.
Pengabaian ini juga menjadikan si istri memiliki hak meminta kepada hakim agar memaksa suaminya untuk memenuhi kebutuhannya atau agar memisahkan mereka berdua dari tali perkawinan.
Didalam kitab ”al Mausu’ah” disebutkan bahwa para fuqaha telah bersepakat kewajiban memberikan nafkah istri ada pada suaminya dikarenakan akad sah (perkawinannya)... Jika seorang suami tidak menunaikan kewajiban ini tanpa adanya penghalang yang berasal dari istrinya maka si istri memiliki hak untuk meminta nafkahnya tersebut melalui hakim sehingga si hakim mengambil dari suaminya secara paksa. Akan tetapi jika si suami tidak memberikan nafkahnya dikarenakan adanya penghalang dari istrinya, seperti : nusyuz (baca : (Baca : Hukum Istri yang Menampar Suami, pen) maka dirinya tidak bisa dipaksa untuk mengeluarkan nafkahnya itu.

19)  Bagaimana Hukumnya bagi Suami yang Membiarkan Istrinya Berbusana yang Transparan

Bagi suami yang membiarkan istrinya berbusana yang transparan maka hukumnya dosa, karna aurat wanita yang tak boleh terlihat di hadapan laki-laki lain (selain suami dan mahramnya) adalah seluruh anggota badannya kecuali wajah dan telapak tangan.
Islam mengharamkan perempuan memakai pakaian yang membentuk dan tipis sehingga nampak kulitnya. Termasuk di antaranya ialah pakaian yang dapat mempertajam bagian-bagian tubuh khususnya tempat-tempat yang membawa fitnah, seperti: payudara, paha, dan sebagainya.
Dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Ada dua golongan dari ahli neraka yang belum pernah saya lihat keduanya itu: (1) Kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi yang mereka pakai buat memukul orang (penguasa yang kejam); (2) Perempuan-perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, yang cenderung kepada perbuatan maksiat, rambutnya sebesar punuk unta. Mereka ini tidak akan bisa masuk surga, dan tidak akan mencium bau surga, padahal bau surga itu tercium sejauh perjalanan demikian dan demikian.” (HR. Muslim, Babul Libas)
[Bukhtun adalah salah satu macam daripada unta yang mempunyai kelasa (punuk) besar : rambut orang-orang perempuan seperti punuk unta tersebut karena rambutnya ditarik ke atas.]
Mereka dikatakan berpakaian, karena memang mereka itu melilitkannya pakaian pada tubuhnya, tetapi pada hakikatnya pakaiannya itu tidak berfungsi menutup aurat, karena itu mereka dikatakan telanjang, karena pakaiannya terlalu tipis sehingga dapat memperlihatkan kulit tubuh seperti kebanyakan pakaian perempuan sekarang ini.

20)  Bagaimana Hukumnya Istri yang Membiarkan Suami Bermaksiat Kepada Allah
Seorang istri yang membiarkan suaminya bermaksiat kepada Allah hukumnya dosa, karna perintah Allah adalah, Demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS : Al'Ashr 103 :1-3)
21)  Bagaimana Hukumnya Istri Berpuasa Sunnah sedang Suami tidak Mengizinkan
Termasuk hak seorang suami terhadap istri, yaitu Istri tidak boleh puasa sunnah kecuali dengan izin suaminya, terutama jika suami sedang berada di rumah seharian. Rasulullah saw bersabda: “Tidak boleh seorang istri puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempat kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Suami berhak mendapatkan kesenangan bersama istrinya yang harus segera ditunaikan dan tidak boleh tertunda dikarenakan sang istri sedang puasa sunnah. Oleh sebab itu lah istri bisa berpuasa sunnah hanya atas izin suami.
22)  Hukum Istri Keluar Rumah tanpa izin Suami
Termasuk hak seorang suami terhadap istri, yaitu Dimintai izin oleh istri yang hendak keluar rumah. Istri tidak boleh keluar rumah kecuali seizin suami. Hal ini termasuk ketika istri ingin mengunjungi orangtuanya serta kebutuhan lainnya. Istri yang keluar rumah tanpa seizing suaminya cenderung menimbulkan fitnah hingga maksiat kepada Allah swt.
Di dalam hadits disebutkan:
وَلا تَخرُجُ مِن بَيتِهِ إلاَّ بِإذنِهِ ، فَإنْ فَعَلَتْ لَعنَتْها مَلائِكَةُ السَّمَاوَاتِ ومَلائِكَةُ الأرْضِ ومَلائِكةُ الرِّضَاء ومَلائِكةُ الغَضَب
“Dia tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya. Jika dia melakukan, maka malaikat di langit dan di bumi, serta malaikat ridha dan benci melaknatnya.”


[1] HR. Muslim 302.
[2] HR. al-Bukhari 300, 302 dan Muslim 293.

2 komentar:

Komentar Yukk!!!